Dua Puluh Lima - Nada

25.1K 1.6K 115
                                    

Setelah sebulan lebih ponsel ini tidak berdering karena notifikasi dari nomor ini, hari ini ponselku kembali memunculkan sebuah nama. Aku tahu bahwa suatu saat hal ini akan terjadi, tapi tidak saat ini, ketika aku sedang duduk dengan nyaman di apartemen, memperhatikan Miller yang memakan masakanku, menunggu apa reaksi Miller terhadap masakan amatir ini. Percobaan pertama aku memasak secara serius dan kulakukan hanya demi Miller. Miller memang tidak meminta, tapi aku ingin mencoba memasak sebagai bentuk ucapan terima kasih atas segala hal yang telah Miller lakukan untukku.

Baru saja Miller akan menyuapkan Chicken Fillet with Barbeque Sauce ke mulutnya ketika ponsel yang aku letakkan di atas meja, berdering. Nama 'Dwi Irama Syahreza' muncul besar-besar di layar. Baik aku maupun Miller sama-sama membeku. Aku hanya bisa mematung memperhatikan layar ponsel. Tidak bergerak untuk mengangkat ataupun mematikan telepon tersebut. Bunyi ringtone ponselku karena telepon dari Rama meramaikan apartemen yang cenderung sepi.

Miller melirik aku yang mendadak beku dan sepertinya wajahku berubah pucat pasi. Miller mengurungkan niat menyuap lalu tangannya menyentuh kepalaku, membelainya perlahan.

"Kamu gak angkat?"

Aku menoleh ke arah Miller, menatap Miller dengan tatapan heran. "Buat apa?"

"Aku gak tahu," Miller mengangkat bahu. "Setelah pertemuan di kamar kost kamu itu bukannya Rama tidak pernah menghubungi kamu lagi?"

"Memang," Aku menatap layar ponsel yang sekarang kembali gelap. Sedetik kemudian Rama kembali menelepon.

"Dia pasti punya alasan ketika akhirnya hari ini memutuskan menghubungi kamu," Miller menghela nafas. "Pasti ada hubungannya dengan Melodi."

"Gak perlu diangkat," Aku akhirnya memutuskan untuk me-reject telepon Rama dan segera mematikan nada deringnya. Ponsel kulemparkan begitu saja ke balik bantal sofa.

"Kamu yakin?"

"Bukannya kamu yang seharusnya meyakinkan aku supaya gak usah berhubungan lagi sama Rama? Kan kamu juga yang meminta aku untuk move on. Jadi sekarang..."

Kata-kataku terhenti ketika Miller mencium pipiku. Aku masih saja terkesiap dengan perlakuan romantis macam begini. Padahal seharusnya aku sudah sangat familiar dengan gestur intim. Hubunganku dengan Rama mengajarkan banyak jenis hubungan intim. Sekarang dengan Miller pun sedikit banyak Miller senang menyentuhku ketika aku mengijinkan.

"Aku gak tahu ada perlu apa Rama sehingga akhirnya dia menghubungi kamu. Aku juga sebenarnya gak suka. Tapi kita berdua sama-sama tahu bahwa kamu berhutang satu penjelasan kepada Rama. Penjelasan mengenai sesuatu yang sepertinya akhirnya dia tahu dari adikku."

Aku memejamkan mataku. Cepat atau lambat memang Rama seharusnya tahu. Sepertinya ini memang alasan Rama menghubungi setelah sekian lama.

"Kalau kamu mau aku temani saat bertemu Rama, kamu bisa bilang. Kalau kamu memutuskan untuk bertemu sendiri, kabari aku. Supaya aku tenang."

"Oke..." kataku dengan lirih. "Nanti aku kabari lagi. Sekarang kamu mending makan lagi aja."

"Oke," Miller kembali tersenyum. Tangan Miller menggenggam tanganku sebelum dia kembali mencoba masakanku. Aku membalas memegang erat tangan Miller.

***

"Kamu pindah tempat tinggal," Adalah kalimat pertama Rama ketika aku sampai di restoran tempat kami janji bertemu. Rama memilih restoran dengan tempat duduk yang bersekat sehingga sepertinya kami bisa leluasa mengobrol mengenai hal apa pun.

Aku akhirnya setuju bertemu dengan Rama setelah puluhan telepon dari Rama dan pesan-pesan bernada menuntut. Benar dugaan Miller. Rama meminta bertemu karena meminta penjelasan mengenai kandungan yang menurut Melodi, digugurkan.

Undeniable Heart - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang