Dua Puluh Enam - Rama

23.6K 1.2K 14
                                    

Pagi itu pikiranku benar-benar seperti benang yang terurai kemana-mana dan dengan mudahnya disisihkan ke samping. Berantakan, super berantakan. Kotor juga mungkin. Aku butuh kopi supaya bisa bertahan menghadapi segala hal yang akan terjadi seharian ini. Datang pukul delapan pagi, tidak seperti biasanya. Bekerja di TV menyebabkan aku sering datang pukul 10 pagi. Itu pun menjadikan aku orang paling rajin di lantaiku. Dengan sekarang harus datang jam delapan pagi, membahas beberapa kasus yang terjadi di MBTV dengan beberapa direktur, dengan pikiran yang seperti benang kusut, benar-benar membuat mood berada pada level terendah.

"Biasa, Di," kataku sambil mengulurkan Starbucks Card kepada si Barista yang merangkap menjadi kasir.

"Pagi amat, Mas," Dion tersenyum kepadaku. Kami sudah seperti teman akrab saking seringnya aku membeli kopi. Tidak perlu juga aku menyebutkan apa yang aku mau karena pasti akan selalu sama.

"Ada meeting. Kampret," aku mendengus dan Dion hanya tersenyum lagi. Dia menyerahkan Starbucks Card kembali kepadaku dan aku pun menyingkir, memberikan kesempatan pengunjung lain untuk memesan. Dengan kepala tertunduk melihat ponsel, aku melangkah untuk berdiri di dekat meja pesanan. Aku tidak tahu ada siapa saja yang ada di Starbucks pagi ini. Pasti tidak ada karyawan MBTV karena mustahil orang-orang sudah muncul di gedung perkantoran sepagi ini. Paling hanya karyawan grup MB lain yang aku tidak terlalu kenal.

Tepat saat aku berjalan, terjadilah kejadian tersebut. Pekikan khas perempuan. Tragedi khas sinetron. Aku refleks mengaduh saat cairan coklat itu membasahi kemeja yang aku pakai. Menimbulkan noda coklat besar di bagian depannya. Rasa panas merambati tubuhku padahal aku melapisi kemeja dengan kaus dalam.

"Ya ampun maaf!" Dia berteriak kaget. Perempuan yang menumpahkan kopinya di kemejaku berteriak dengan suara nyaring. Aku menarik kemeja agar tidak menempel di tubuhku dan mendongak untuk melihat siapa yang melakukan ini.

"Panas banget," aku kembali bergumam. Perempuan di depanku tampak seperti sedang trans karena dia mendadak bengong.

"Eh iya ya ampun beneran aku minta maaf. Aku gak sadar banget ada orang di belakang," Mendadak lagi dia tersadar dan langsung gelagapan mencari sesuatu. Sepertinya dia mencari tisu.

"Gak usah, Mbak," aku refleks mencegahnya. Saat itulah aku sadar siapa sebenarnya perempuan ini. "Melodi."

"Eh kamu tahu namaku?"

Aku terdengar seperti fans artis-artis. Padahal aku bahkan tidak hapal siapa saja yang diundang ke MBTV. Aku ingat dia karena seseorang sering membicarakan dia, memuji kebaikan hatinya, keceriaannya, dan ketenarannya. Sudahlah, orang itu mungkin tidak peduli bahwa aku masih ingat setiap detail hal yang dia lakukan. Sekarang lebih baik aku bersiap untuk rapat. Tidak mungkin bertemu jajaran direktur dengan penampilan seperti ini.

"Di," aku memanggil Dion. "Pesanan gue hold dulu aja. Gue ganti baju dulu. Nanti ke sini lagi."

"Kamu bawa baju ganti?" Melodi kembali bicara denganku.

"Nggak," aku menggeleng, masih menjaga agar kemeja tidak terlalu menempel ke tubuhku.. "Gak ada waktu juga untuk pulang dan ganti baju."

Aku tidak berminat untuk menuntut pertanggungjawaban dari perempuan ini. Bukan gayaku. Aku memilih untuk segera menyelesaikan permasalahan ini.

"Permisi," aku berbalik. Mungkin aku akan meminjam kemeja ke tim wardrobe Mereka pasti punya banyak persediaan.

"Kamu mau kemana?" Aku terdiam saat Melodi memegang bagian belakang kemejaku dan membuatku terhenti.

"Pinjam baju ke wardrobe. Saya ada meeting jam delapan. Mohon maaf saya harus segera ganti baju." Aku kembali mundur dan lagi-lagi dia menahan langkahku.

Undeniable Heart - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang