Dua Puluh - Miller

28.5K 1.8K 248
                                    

Gue bukan tipe orang yang mudah mencintai. Hanya ada empat orang yang gue cintai selama gue hidup. Nyokap gue, I love her with my life. Beliau yang mengandung dan melahirkan gue. Masa iya gue gak cinta sama dia? Adik gue, Melodi. Seberapa cerewet dan menjengkelkannya dia, gue tetep sayang sama adik gue ini. Ketiga, cinta pertama gue di bangku SMP. Perempuan pertama yang membuat gue bersedia melakukan apa pun. Termasuk ngabisin uang tabungan buat beliin dia rumah Barbie plus Barbie edisi khusus yang menurut kantong anak SMP, lumayan menguras. Dia cewek yang selalu baik sama siapapun. Gak pernah bolos sekolah, selalu ranking di kelas, gak pernah ngegencet adik kelas. Dia bilang dia selalu mau Barbie tapi orang tuanya gak mampu. Jadilah gue belikan. Rasa cinta gue ke dia bukan yang membuat ingin memiliki. Toh akhirnya dia pun hidup bahagia sama suami yang sudah menunggu dia sejak dia di bangku SMP (suaminya sudah kuliah). Mereka menikah begitu cewek itu lulus kuliah. Entah dimana mereka sekarang. Terakhir adalah almarhumah istri gue. Wanita yang gue inginkan jadi pendamping hidup gue selamanya dan jadi ibu anak-anak gue. Ketika kemudian dia divonis kanker payudara, gue gak ada niat untuk membatalkan rencana pernikahan kami. Gue sudah terlalu cinta meskipun impian gue harus pupus.

Gue gak tahu apakah sekarang gue sedang jatuh cinta kepada wanita kelima. Hubungan kami saat ini gak lebih dari sesekali gue menjemput dia pulang, gue ajak dia makan siang atau makan malam, beberapa kali chatting, lalu gue yang diam-diam memikirkan dia setiap malam. Gak bisa nelepon karena sejak kenal gue, dia punya kebiasaan matiin HP semalaman. Semoga gue bukan alasan dia melakukan itu.

Malam ini, gue gak mau membiarkan diri gue seperti orang bodoh lagi. Gulang guling di tempat tidur keingetan dia sampai akhirnya ketiduran. Gue datangi tempat tinggalnya. Gue minta izin diantarkan ke kamarnya dan si penjaga kosan menunjukkan kamar tidurnya. Rupanya gue dapat kejutan karena saat pintu kamar dia dibuka, dia muncul sambil menangis dan di belakangnya ada pacar adik gue.

"Miller?"

Ah gue akhirnya denger suara itu malam ini. Gue kayak orang aneh. Denger dia manggil nama gue dengan suara serak karena lagi nangis, bisa bikin gue deg-degan.

"Maaf ganggu," kata gue akhirnya. Mata gue kemudian dialihkan ke orang yang berdiri kaku di belakang Nada. Rama berdiri semakin canggung.

"Kami sedang bicara," Rama melangkah maju. "Dan kalau kami bisa diberi waktu lagi..."

"Gak ada yang masih perlu dibahas, Rama," kata Nada dengan tegas. Gue kaget. Bukannya dia nangis? Suaranya bisa segalak itu. "Semuanya sudah selesai."

Rama menatap Nada dengan tatapan memelas? Perasaan gue semakin gak enak. Gue memilih diam sampai Nada yang menentukan harus apa gue dan Rama.

Kami bertiga sama-sama diam sampai akhirnya Rama yang bicara. "Baiklah." Rama keluar dari kamar Nada, mengenakan sepatunya dengan cepat. "Selamat tinggal, Nada."

Gue memperhatikan Rama pergi. Gue biasanya melihat Rama sebagai pria yang penuh percaya diri. Sekarang dia tampak lesu. Pundaknya turun dan dia berjalan lunglai.

"Miller? Ada perlu apa?"

Gue kembali memperhatikan Nada. Dengan ajaib air matanya sudah hilang walaupun gue masih bisa melihat matanya sembab. "Ah itu..." Gue mendadak kehilangan kata-kata.

"Kamu mau aku menjelaskan kenapa ada Rama di sini?" Nada berkata dengan lirih.

Gue sebenarnya gak mau. Gue gak mau ikut campur dengan urusan orang lain. Tapi sisi lain otak gue sepertinya kepo. Masalahnya, laki-laki yang baru keluar dari kamar Nada adalah pacar adik gue sendiri. Jadi meskipun tujuan utama gue sebenarnya cuma ketemu Nada, ya sudah.

"Oke," Gue mengangguk dan mengikuti Nada masuk. Pelan-pelan gue tutup pintunya. Nada menunjuk sebuah kursi dan gue duduk di sana. Dia sendiri duduk di ujung kepala tempat tidurnya. Jauh dari gue.

Undeniable Heart - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang