Sembilan - Nada

51K 1.8K 227
                                    

Flashback.

"Rama datang gak Nad?"

"Hah?" Aku berbalik menghadap orang yang menyebut namaku. "Gak tahu, Fad. Kenapa nanya gue?"

Fadli mengangkat bahunya lalu kembali menekuni buku menu. "Siapa tahu dia japri lo. Di grup soalnya dia diem aja."

Aku memalingkan pandangan dari Fadli lalu membuka ponselku sendiri. Kubaca topik pembicaraan di grup WhatsApp mengenai rencana pertemuan hari ini. Ya, kami para pengurus BEM rencana berkumpul setelah beberapa tahun tidak bertemu. Ada yang sudah mengajak suami/istri, bahkan ada yang sudah menggendong bayi. Aku sih masih single ya.
Kembali aku mendongakkan kepala untuk melihat ke sekeliling. Wajah-wajah yang familiar dan kurindukan. Bertemu dengan mereka mengingatkan aku pada masa-masa kuliah yang menyenangkan dan penuh tantangan, ada air mata tapi juga penuh canda.
Tiba-tiba saja aku menghela nafas. Dari semua pengurus yang seharusnya datang kemari, Fadli malah bertanya perihal Rama kepadaku. Jujur memang aku masih sering berinteraksi dengan Rama. Beberapa kali makan bersama, mengobrol kesana kemari, sama seperti waktu kami kuliah dulu. Tidak ada yang berbeda. Walaupun aku masih ingat--dan aku yakin dia juga--mengenai pernyataan perasaan Rama kepadaku di ujung kepengurusan BEM. Kami memutuskan untuk tidak pernah membahas tentang hal itu.

"Dateng juga lo!" Fadli berseru.

Aku mengangkat kepalaku. Bisa kulihat bahwa Rama sedang berjalan menuju meja kami. Dia tersenyum tipis. Sedikit demi sedikit aku juga tersenyum. Lega karena dia juga datang.

"Udah lama gak ketemu kalian," ujar Rama, menyalami semua orang yang hadir. Mengobrol sebentar. Begitu selesai, dia duduk di tempat yang sudah dapat dipastikan. Di sebelahku.

"Gue kira lo gak datang," aku menyangga kepalaku saat mulai menginterogasi dia. "Di grup gak nongol. WA gue juga gak ada yang dibaca."
Tidak langsung menjawab pertanyaanku, Rama malah menatapku lama. Hampir membuat aku salah tingkah. Aku menurunkan tangan karena bingung harus bersikap bagaimana.

"Sibuk, Nad," jawab Rama akhirnya.

Tidak ada lagi yang kami ucapkan terhadap satu sama lain. Rama memesan makanan, aku mengobrol dengan Tiara. Pengurus perempuan paling dekat denganku karena kami sama-sama Bendahara.

Suasana reuni kecil-kecilan ini benar-benar hangat. Kami kembali mengobrol seperti anak kuliahan. Bukan orang dewasa dengan usia 26 dan 27 tahun. Saling mengejek satu sama lain. Kali ini yang menjadi sasaran adalah Fadli. Karena si Ketua BEM belum menikah.

"Gue mau karier dulu lah," Fadli mengelak. Anak-anak lain tertawa.

"Rama sama Nada juga belom nikah-nikah nih. Gue kira gak lama setelah lulus, bakal segera nerima undangan kalian," celetuk Niki, Koordinator Bidang Internal.

Tubuhku langsung merasa kaku. Cepat-cepat aku meringis. Kugoyangkan tanganku untuk menepis info itu seakan itu gosip biasa.

"Gosip aja lo," ujarku lalu tertawa pelan.

"Lho tapi siapa yang gak berpikir kalau kalian bakal married?" Niki kembali bersuara.

"Gak usah dilanjut, Nik," kata Rama tegas. Sorot matanya berubah tajam dan rahangnya menegang. Semua orang, termasuk aku, terdiam. Rama bukan tipe orang yang mudah tersulut emosi. Maka melihat dia seperti ini, orang-orang jadi heran.

"Sorry," Niki mengangkat bahunya.

Suasana kembali mencair dalam hitungan detik. Meskipun tidak bagi Rama dan aku. Dia hanya diam dan aku jadi sedikit canggung. Aku bersyukur ketika makan malam usai dan kami melakukan sesi foto untuk kenang-kenangan.

Undeniable Heart - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang