Lima Belas - Nada

31.3K 1.9K 59
                                    

"Ini tempat apa?" Aku tercekat melihat situasi di sekelilingku. Jika melewati tempat ini dan hanya melihat sekilas, aku rasa kita hanya akan melihat sebuah petak kosong di tengah kompleks perumahan yang ditumbuhi semak-semak dan ilalang. Nyatanya, ketika semak-semak itu disibakkan, muncul sebuah tempat yang nyaman. Semak-semak di depan seperti sengaja dibiarkan tumbuh untuk mencegah orang-orang datang dan mengunjungi tempat ini. Di belakang semak-semak tinggi itu terdapat rerumputan yang dipangkas rapi. Di salah satu pojok terdapat gazebo yang dihiasi beberapa bantal. Kosong, namun nyaman. Sepi, namun menenangkan.

Miller berdiri di sampingku setelah melewati semak-semak dan ilalang di depan. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku dan menyapukan pandangan ke sekelilingnya. Aku meliriknya yang tak kunjung menjawab.

"Ini adalah tanah kosong," jawab Miller akhirnya.

Aku refleks tertawa pelan. "Itu sih aku juga tahu."

Miller menggerakkan kepalanya ke arah gazebo. Aku berjalan di belakangnya, melangkah pelan masih sembari memperhatikan sekitar kami. Ketika Miller duduk di tepi gazebo, dengan hati-hati aku juga duduk di sampingnya.

"Rumah saya dan Melodi tidak jauh dari sini," ujar Miller. Dia tidak memandangku saat bercerita. Melainkan melihat ke salah satu sudut dan baru aku sadari ditumbuhi beberapa bunga mawar. Di sisi yang lain ditumbuhi berbagai tanaman yang kuduga adalah sayuran. "Dulunya, petak ini adalah rumah bibi saya."

"Eh?" Aku terperangah. Jika dulunya ini rumah, kenapa bisa bersih sama sekali?

"Bibi saya yang banyak mengurus saya ketika Mama dan Papa bekerja. Siang hari dengan bibi, sore hingga pagi dengan orang tua. Bibi saya mengajarkan banyak hal bagi saya dan Melodi. Dia adalah orang yang kami sayangi setelah orang tua kami." Miller memberi jeda. Dia menautkan tangan dan menunduk.

"Sayangnya suami bibi saya tidak sebaik itu. Dia main perempuan, judi, sampai akhirnya berhutang banyak dan menggadaikan rumahnya. Rumah ini. Keluarga kami... bukannya tidak membantu, meskipun saat itu sebenarnya kami mampu. Hanya saja Papa saya terutama ingin memberikan efek jera kepada suami bibi saya. Kenyataannya, belum sempat dia jera, dia terlanjur mati dikeroyok warga saat membuat keributan karena judi. Bibi saya yang kaget akhirnya meninggal tidak lama kemudian."

"Ya ampun," Aku benar-benar kaget. Refleks, aku menyentuh lengan Miller. Dia menoleh dan aku segera menarik tanganku lagi. Lancang sekali aku. "Maaf."

Miller menggeleng pelan. "Rumah dan tanah ini disita. Papa, sebagai perwujudan rasa bersalah, menebus rumah dan tanah dari bank. Hanya saja karena rumah bibi saya ini penuh kenangan menyedihkan, Papa memutuskan menghancurkan bangunannya dan membiarkannya sama sekali."

Aku menyapukan pandangan ke seluruh tempat ini. Ukuran tanah yang lumayan luas. Jika rumah bibi Miller dan Melodi masih ada, pasti akan terasa sangat nyaman.

"Kejadiannya waktu saya SMP. Bibi gak punya anak. Jadi dia sangat menyayangi saya dan Melodi. Ketika beliau meninggal, saya benar-benar sedih. Baru ketika saya beranjak SMA, saya berani mendatangi tempat ini. Membuang puing-puing yang tidak berguna, menggemburkan tanah, menanami rumput, dan memasang semak-semak dan ilalang di depan supaya tidak ada yang bisa datang." Miller tersenyum sedikit namun sorot matanya tetap terasa sedih.

"Gazebo ini dibangun ketika saya kuliah." Miller menyentuh salah satu tiang gazebo dan mengetuknya.

"Setiap saya sedih, marah, gusar, atau sedang memiliki banyak beban, saya akan ke sini. Sebagai pribadi yang lebih senang menyendiri, tempat ini sempurna." Miller menyelesaikan ceritanya dan menatap ke arahku. Tidak ada senyum di wajahnya. Hanya tatapan yang seakan meminta pengertian.

"Rasanya tempat ini begitu sakral..." aku menggumam pelan.

"Memang,"

"Apa tidak apa-apa membaginya denganku? Aku adalah orang asing..." Aku mendongakkan kepalaku untuk menatap Miller.

Undeniable Heart - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang