Dua Puluh Delapan - Miller

42.4K 1.8K 194
                                    

Gue tidak mau terdengar seperti seorang pacar yang posesif dan pemaksa. Dengan siapa pun pasangan gue, gue mau dia merasa nyaman saat berada di samping gue. Cara gue adalah dengan membiarkan dia melakukan apa pun yang dia mau, dengan catatan bahwa apa yang dia lakukan gak menyalahi aturan, gak menyalahi kepercayaan gue, dan yang pasti dia tetap baik-baik saja.

Untuk saat ini, karena pasangan gue adalah Nada, gue mau dia tetap selamat, sehat, bahagia. Gue tahu betapa susahnya hidup dia dan betapa penuhnya pikiran dia sebelum kami memutuskan untuk bersama. Meski dia gak minta, gue punya tekad dalam diri gue sendiri bahwa gue akan memberikan sesuatu yang gak pernah dia dapatkan sebelumnya. Perlindungan. Kenyataan bahwa dia akan tetap aman dan tenang saat bersama gue.

Gue gak tahu apa hingga sebulan lebih gue dan dia memutuskan berhubungan serius, dia sudah merasakan itu. Gue gak pernah nanya dan sejujurnya juga gue takut untuk mencari tahu. Nada adalah sosok yang mandiri, terlalu mandiri bahkan. Dia mau membuka diri dan bercerita semua hal ke gue adalah salah satu dari sedikit pengecualian yang dia buat mengenai sesuatu yang judulnya: bergantung pada orang lain.

Salah satu cara gue untuk melindungi dia adalah berusaha menemani dia ke mana pun. Tapi seperti yang sudah gue sebutkan di awal, dia terlalu mandiri. Padahal gue sebenarnya geregetan setengah mati ketika dia memutuskan untuk bertemu sang mantan. Jujur, gue takut. Setakut itu gue ketika Nada bilang akan bertemu Rama, menyelesaikan apa yang mereka miliki di masa lalu. Gue takut mereka kembali bersama lagi. Lebih takut lagi kalau ternyata setelah bertemu Rama, Nada lebih hancur dari yang sebelumnya pernah dia alami.

Selama waktu yang menurut Nada adalah waktu pertemuan dia dengan Rama, yang bisa gue lakukan mirip seperti seorang suami yang menunggu istrinya melahirkan, di luar ruang bersalin. Memegang tangan, jalan bolak-balik, sesekali melirik ke arah ruang bersalin, ralat, ke HP. Orang akan minta gue supaya tenang tapi gue gak bisa. Untunglah gue di rumah sendirian. Gak perlu ada orang yang lihat betapa galaunya gue saat ini hanya karena pacar gue ketemu mantannya.

HP dalam genggaman tangan gue akhirnya bunyi. Satu pesan dari Nada yang super singkat akhirnya muncul. Gue membaca itu dengan lega sekaligus penasaran.

Aku sudah sampai di apartemen.

Terdengar biasa. Terasa biasa. Terlihat biasa.

Walaupun kenyataannya pasti gak biasa. Tanpa menunggu lama, gue telepon Nada saat itu juga. Gue perlu memastikan dia baik-baik saja.

"Halo," Suara Nada di telepon memastikan kecurigaan gue.

"Kamu nangis? Karena Rama?"

Terdengar helaan nafas sejenak dari Nada. "Aku mau bilang nggak tapi kamu pasti tahu aku bohong."

Giliran gue yang menghela nafas. Apa lagi yang dilakukan si brengsek itu? "Dia ngapain kamu?"

"Gak ngapa-ngapain, Miller. Kami cuma ngobrol," Suara Nada terdengar berat dan lelah. Perasaan gue makin gak tenang. Gue harus segera ketemu dia.

"Tunggu aku di apartemen. Aku gak akan lama." Segera gue matikan sambungan telepon ini dan gue langsung memesan ojek online supaya bisa sampai di apartemen Nada.

Ketika gue sedang berdiri di depan rumah, menunggu ojek online sampai, muncul pesan dari Nada.

Udah malem. Kamu gak usah repot-repot ke sini.

Tanpa pikir panjang, segera gue bales chat Nada.

Aku hanya mau memastikan kamu baik-baik saja. Setelah itu aku pulang.

***

Ketika sampai di apartemen Nada, dugaan gue benar dan tidak benar. Pertama, gue menduga bahwa Nada akan menyambut gue dengan tangisan. Itu benar. Dia membuka pintu masih dengan air mata mengalir di pipinya. Dugaan kedua gue salah. Gue kira dia akan menghambur ke pelukan gue, menceritakan pertemuannya bersama Rama dengan berapi-api, dan membuat gue bisa memeluk dia. Rupanya, meskipun dia masih menangis, dia menyambut gue dengan senyum dan dia mempersilakan gue masuk seperti biasanya gue berkunjung ke tempatnya.

Undeniable Heart - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang