Satu - Nada

196K 3K 57
                                    


Rama sedang menghujamkan dirinya dengan keras ke dalam tubuhku ketika teleponnya berdering. Bibirnya menciumi leher dan dadaku, meninggalkan bekas-bekas kemerahan di sana. Tangannya meraba perut dan pahaku bergantian. Aku yang saat itu terlalu menikmati gerakannya di atasku, cukup terganggu dengan suara teleponnya yang terlalu keras di malam yang sunyi ini. Padahal sudah kuusahakan untuk tidak berteriak setiap Rama membuatku terbang agar tidak mengganggu tetangga di kamar sebelah. Ternyata telepon sialan ini malah membongkar semuanya. Kucengkram lengan Rama untuk membuatku kembali fokus pada gerakan Rama yang semakin cepat. Kucium leher Rama saat dia mengigit telingaku dengan sensual.

"Ram, your phone," ujarku di sela-sela desahan. Tidak tahan karena bunyinya terlalu mengganggu. Hampir tengah malam. Suasana sepi. Telepon yang tidak kunjung berhenti itu benar-benar membuat konsentrasiku buyar.

"F*ck," desis Rama. "Biarin aja."

Rama mencium bibirku dan dengan ganas melumatnya. Tangannya semakin keras meremas payudaraku sementara di bawah sana dia menggerakkan penisnya semakin cepat. Penisnya yang besar dan berdenyut itu menggodaku. Selalu memancing birahiku setiap melihat, menyentuh, atau hanya membayangkannya. Rama terus memancing dirinya juga untuk meraih kenikmatan. Syukurlah telepon itu rupanya berhenti sehingga aku bisa kembali fokus. Aku memeluknya erat saat kurasakan aku hampir mencapai puncak.

"Oh, Rama, ohhhh." Tubuhku bergetar, menggeliat, aku melengkungkan punggungku, keringat mengalir di dahiku namun aku puas. Lagi-lagi Rama memberikan kepuasan yang selalu aku idamkan setiap kami bercinta.

"Love you," bisik Rama di telingaku. "Maaf untuk yang tadi. Lupa aku silent."

Aku masih berbaring di tempat tidur ketika Rama bangkit dari atasku, melepaskan kondom, dan membuangnya ke tempat sampah. Dia memungut pakaian yang tercecer di lantai lalu mulai berpakaian. Rambutnya dia rapikan dengan jemari. Dalam sekejap, dia sudah terlihat rapi dan tampan. Tidak terlihat seperti baru saja bercinta denganku. Perlahan, aku terduduk, memperhatikannya bersiap pergi.

"Pulang?" bisikku.

"Hmm, maunya," Rama mengambil ponsel yang tadi berdering di waktu yang salah dari saku celana yang sudah dia kenakan.

"Kok gitu?"

"Ada telepon," Rama menunjukkan nama yang tertera di ponselnya. "Mungkin harus jemput."

"Oh gitu," kataku pelan.

"Jangan sedih," Rama mengacak rambutku yang memang sudah berantakan gara-gara percintaan kami.

"Siapa yang sedih? Ngarang," kujulurkan lidahku untuk membuatnya kesal. Alih-alih, Rama malah tertawa.

"Aku pergi dulu," Rama mengenakan sepatunya dan berjalan menuju pintu.

"Iya," kataku tanpa beranjak dari tempat tidur.

Rama berdiam di samping pintu. Tidak membukanya. Perlahan dia berbalik dan menghampiriku. Dia menunduk lalu mencium keningku. Lama. Sampai kupikir dia tidak akan pergi.

"Dah," Rama kembali menepuk kepalaku sebelum keluar dari kamar dan pergi.

Aku kembali menghela nafas. Kubaringkan kembali tubuhku di atas kasur yang berantakan. Harusnya aku segera membuka sprei dan menggantinya dengan yang baru. Hanya saja kali ini aku masih ingin berbaring menatap langit-langit.

Namaku Nada, Maryska Denada Santosa. Aku tidak suka dipanggil Maryska. Terlalu manis untukku ketika aku lebih senang main layangan daripada masak-masakan. Jadi aku memilih dipanggil dengan nama tengahku. Dipanggil dengan nama akhir pun aku tidak mau. Santosa nama ayahku soalnya. Denada, sama dengan penyanyi terkenal itu. Kata ibuku, tadinya hanya mau memberiku nama Nada. Namun karena aku anak kedua, jadi diberi imbuhan 'De'. Entah ibuku bercanda atau tidak.

Usiaku 30 tahun. Baru saja ulang tahun bulan lalu. Saat ini aku bekerja sebagai Senior Accountant di salah satu dari empat KAP (Kantor Akuntan Publik) ternama di Jakarta. Orang tuaku tinggal di Palembang. Di kampung ayahku setelah beliau pensiun dini dari Telkom. Kakakku juga tinggal di Jakarta dengan suaminya. Kakakku namanya Karina. Lagi-lagi kata ibuku, kakakku akan diberi nama Rina saja. Sayangnya, Ibu dan Ayah memutuskan untuk punya anak kedua dan otomatis Rina akan menjadi kakak. Jadilah namanya Mardina Karina Santosa.

Aku tinggal di salah satu tempat kost pria dan wanita yang penghuninya kadang tidak peduli pada tetangganya. Hanya penjaga kost, Mang Hidir yang kenal setiap penghuni dan juga tamunya. Si pemilik kost tidak peduli jika penghuni pria membawa wanita ke kamar atau wanita membawa pria ke kamar. Si ibu itu hanya ingin tahu bahwa penyewanya membayar secara rutin dan semuanya punya pekerjaan jelas. Bukan para pelacur yang siang ada di kamar tapi malam hilang entah kemana.

Tentu saja aku bukan pelacur. Aku punya pekerjaan jelas. Pekerjaan yang kadang membuatku tidak pulang atau harus pulang lewat tengah malam. Untuk yang tadi itu...yah toh Rama tidak memberiku upah apapun kan?

Namanya Rama, Dwi Irama Syahreza. Lebih senang dipanggil Rama karena jika dipanggil Irama, mengingatkannya pada si raja dangdut. Dia bekerja di sebuah TV sebagai Manager Internal Audit. Dia seumur denganku. Kami bertemu di bangku kuliah. Dia bilang kami cocok karena nama kami. Aku Nada, dia Irama.

Jangan berpikir karena kami bercinta tadi maka kami berpacaran. Yah, sebenarnya iya. Dia bilang aku pacarnya dan dia juga meminta aku untuk mengakui dia sebagai pacarnya. Di depannya, tentu saja aku bilang iya. Di depan dunia, aku tidak bisa. Bagi orang lain, aku adalah Nada yang masih single di usia awal 30.

Sial.

Kami berpacaran diam-diam. Sesekali bertemu kalau jadwal kami cocok atau sudah terlalu rindu pada satu sama lain. Lokasi pertemuan kami adalah di kosanku, di rumahnya, atau kadang di sebuah kota lain ketika aku sedang ada keperluan ke luar kota. Rama bisa muncul begitu saja di hotel tempatku menginap dan yah, kejadian yang tadi terulang lagi.

Bukan keinginanku untuk menyembunyikan keberadaan dia dari dunia. Bukan mauku juga untuk pura-pura tidak punya hubungan dengan Rama selain sebagai teman kuliah. Semua itu karena Rama punya Melodi.

Melodi Shakira Lubis. Seorang pemain film dan model yang cantik, manis, dan ramah. Tidak ada satu pun kecacatan pada dirinya. Tidak ada kepura-puraan dalam tingkah lakunya. Dia dua tingkat di bawahku dan Rama saat kuliah. Mereka baru berpacaran sekitar tiga tahun lalu. Ketika Melodi tidak sengaja menyenggol gelas kopi Rama dan membuat Rama kepanasan. Melodi tidak tahu bahwa Rama adalah seniornya di kampus tapi Rama ingat. Sejak itulah mereka berpacaran. Tadi itu, telepon sialan yang mengganggu percintaanku dan Rama, adalah dari Melodi. Dia pasti baru selesai syuting dan minta Rama menjemputnya.

Jangan tanya bagaimana caranya aku jadi orang ketiga padahal aku yang kenal Rama lebih dulu. Jangan tanya. Aku lelah. Kapan-kapan kuceritakan.

***** 

Tiba-tiba kepikiran sebuah ide cerita. Why not share it soon with all Wattpad users? :D

Sekali lagi ini cerita dewasa yang gak nanggung-nanggung kalau soal adegan ranjangnya ya. 

Jadi yang belum punya KTP mendingan jangan baca dulu. Sekolah aja yang fokus sampe lulus ya. 

Selamat menikmati!

-Amy

Undeniable Heart - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang