Sembilan Belas - Nada

27.8K 1.8K 133
                                    

Dulu, pulang cepat adalah sebuah kemewahan. Terutama pada tahun-tahun pertamaku menjadi seorang auditor. Jarang sekali aku bisa pulang ketika matahari masih menampakkan sinarnya. Aku bertemu si matahari hanya ketika dia baru muncul dengan malu-malu. Setelah bertahun-tahun bekerja sebagai Auditor dan sampai di posisi Senior Auditor, aku menentukan sendiri kapan aku akan pulang.

Sudah seminggu ini aku pulang tepat waktu, sesuai jam kerja yang tertera di Peraturan Perusahaan. Pukul lima sore aku sudah membawa tasku dan berdiri di depan alat pencatat absensi. mengetukkan ID card sebagai tanda pekerjaanku hari ini usai sudah.

Pikiranku sedang kacau berat dan aku tidak merasa bekerja adalah cara yang tepat untuk mengalihkan perhatian dari hal-hal yang berkecamuk di otakku ini. Aku 'menebus' waktu luang yang tidak kumiliki ketika awal bekerja. Jadilah setiap malam aku mematikan ponselku, membuatnya menyala otomatis dini hari. Sebelum tidur, aku menonton beberapa serial Korea maupun HBO dan Netflix. Menonton berbagai genre film dan terhanyut di dalamnya. Itu cukup.

Aku menghindari banyak interaksi dengan orang lain begitu matahari terbenam yang ditandai dengan aku sampai di tempat kost dan mematikan ponselku. Termasuk dengan Miller. Setelah makan siang yang menurutku lebih terasa seperti uji nyali, kami bertemu beberapa kali lagi, makan malam bersama, mengobrol hal-hal umum dan tertawa untuk hal-hal lucu.

Berbeda dengan Rama. Tidak ada interaksi apa pun antara aku dan dia setelah makan siang itu. Dia tidak menghubungiku dan aku pun tidak ingin repot-repot menghubungi dia. Keinginanku untuk menghentikan hubungan dengan Rama semakin kuat dan sepertinya tidak bisa dicegah. Seharusnya kulakukan ini dari lama. Demi kebaikan semua orang.

Malam ini aku memutuskan untuk mulai menonton drama Korea seri Reply. Kumulai dari Reply 1988 yang sejauh ini masih menempati posisi pertama rating tertinggi. Aku sudah selesai mandi, sudah mengenakan piyama, sudah melakukan perawatan wajah dan tubuh. Kapan pun aku mengantuk, aku bisa langsung merebahkan tubuh di tempat tidur. Sekilas mungkin terlihat menyedihkan, namun yang penting aku bahagia. Setidaknya aku mencoba untuk bahagia dan sejauh ini aku berhasil.

Tok tok tok.

Aku melepas headset dan mendengarkan dengan saksama. Apa aku salah dengar?

Tok tok tok.

Benar rupanya ketukan itu berasal dari pintuku. Pertanyaan muncul di kepalaku. Tidak pernah ada yang mengetuk pintu seperti ini. Tetangga-tetanggaku terlalu acuh untuk menjalin keakraban. Mang Hidir, jika mengantarkan galon, akan mengetuk sambil memanggil namaku.

Semoga bukan makhluk tak berwujud yang tiba-tiba ingin menemuiku.

Aku membuka kunci dan menarik gagang pintu perlahan. Terhenyak saat melihat siapa yang mengetuk pintu dan sekarang berdiri di hadapanku. Dia tampak sama seperti biasanya. Hanya sedikit lelah dan ada seulas perasaan lega di wajahnya.

"Sudah lama kita gak ketemu. Aku telepon pun gak nyambung. Jadi aku datang langsung ke sini," kata Rama dengan senyum yang perlahan terkembang di wajahnya.

"Kamu mau apa ke sini?" tanyaku lirih.

"Apa alasan rindu cukup untuk membuat aku menghampiri kamu di sini?"

Aku menggeleng. "Rama, aku gak menganggap aku bisa bertemu dengan kamu sekarang."

"Kenapa? Karena permintaan bodoh kamu untuk berhubungan dengan laki-laki lain? Laki-laki yang ternyata kakak kandung Melodi? Dari semua laki-laki di dunia ini, kenapa harus dia, Nada? Kamu sengaja mengejek aku?" Rama tampak mulai jengkel.

"Bukan mauku. Melodi yang mengenalkan kami,"

"Semua hal menjurus ke Melodi," Rama menggeleng, mengusap wajahnya. "Bisakah kita melepaskan semua pertanyaan dan masalah saat ini? Aku hanya ingin ketemu kamu dan menghabiskan waktu dengan kamu."

Undeniable Heart - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang