Tiga

583 64 1
                                    


Hari ini aku terlambat datang ke perpustakaan. Lewat 10 menit dari biasanya karena harus ke toilet terlebih dulu untuk membersihkan rok yang penuh lem. Kukira Nyx yang sengaja mengolesi kursiku dengan benda lengket itu. Berhubung dia yang pertama kali tertawa keras saat aku memekik kaget.

Beruntung rok ku tidak menempel pada kayu, karena tak lama setelah mendudukkan bokong, aku kembali berdiri.

Fei menawarkan bantuan sebenarnya, namun aku menolak. Lebih memilih mengunci diri di bilik toilet, melepas rok dan membersihkan bagian belakangnya semaksimal mungkin.

"Nada," sapa Bu Mega di balik meja minimalistnya.

Aku yang baru menginjakkan kaki di perpustakaan pun mendekat, "Ya, Bu?'

"Mau ketemu Ares? Ibu belum lihat dia dari tadi," katanya.

"Belum lihat?'

Bu Mega mengangguk menegaskan.

Aneh. Normalnya Ares sudah ada disini sejak 5 menit yang lalu. Atau mungkin dia ada diskusi dengan Klub Geografi yang sedang dirintisnya? Bagus jika iya, sampai-sampai tidak mengabariku dari kemarin. Ok lah kita memang teman, tapi biasanya dia akan memberi kabar via whatsapp setidaknya satu pesan sebelum tidur.

"Ya udah, kamu tunggu dulu aja," saran Bu Mega.

Aku nyaris akan mengangguk jika saja suara familiar tidak memanggil, "Nada, disitu lo rupanya,"

Sontak aku menoleh. Sayangnya bukan Ares, melainkan Fei.

"Udah beres bersihin rok nya?"

"Udah,"

"Ares nya ada?"

Aku menggeleng.

"Temenin gua aja yuk, ke kantin,"

"Tapi Ares-"

"Sebentar dong, ya, ya, ya," Fei mengeluarkan jurus andalannya, puppy eyes.

Aku berpikir sejurus, dan akhirnya mengiyakan karena tak tahan. Sebelum keluar, kutitip pesan pada Bu Mega agar Ares mau menunggu selagi paksaan ke kantin ini. Wanita muda itu menyanggupi, lantas aku dan Fei pun keluar.

Kantin terlampau ramai. Sialnya, Fei menyeretku menerobos gerombolan manusia-manusia kelaparan. Sementara dirinya memesan jajanan, aku kegerahan dan gusar. Mengingat SPP yang semakin naik, mengapa sekolah pelit sekali untuk sekadar menyediakan kantin yang nyaman?

"Lo mau pesen apa? Gue traktir deh," kata Fei. Memudarkan raut wajahku yang menekuk tak senang.

"Serius lo traktir?"

"Serius, lah! Anggap aja peje gue sama Pandu," dia terkekeh.

"Pantesan kelihatan berbunga-bunga banget," kucubit hidungnya pelan, Fei mengaduh, "Gue pengen batagor kering aja,"

"Sip," jempolnya terangkat, sesaat setelah mengusap hidung mancungnya yang kini kemerahan.

Sembari menunggu, kuedarkan pandangan pada ruangan kecil nan sesak ini. Jauh dari novel yang pernah kubaca, bangku-bangku kantin disini beitu terbatas. Jangankan untuk duduk santai, bisa berdiri berdesakan seperti ini saja sudah bersyukur.

Tak butuh waktu lama, Fei sudah kembali berbalik. Entah kenapa dia bisa cepat sekali mendapatkan pesanannya.

"Yuk, gerah, nih," katanya. Kulit putih pucat miliknya memerah mirip kepiting rebus, membuatku ingin tertawa.

"Lo duluan," titahku.

"Yaelah," Fei berdecak. Diserahkannya paper cup bowl berisi batagor punyaku dan berjalan lebih dulu.

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang