Dua Puluh Satu

262 29 8
                                    

A/n : telat upate lagi huhuhuu.. Maaf aku emang gak disiplin guys. Moga part ini gak bosenin ya, soalnya aku stuck banget pas nulisnya.
_______________

Aku memang manusia tak tahu malu. Bagaimana tidak? Setelah tersebarnya foto bersama Pandu, aku malah sibuk menenangkan diri sendiri. Padahal sesungguhnya Fei yang akan sangat terpukul oleh kejadian ini. Dia pacarnya Pandu, kan? Pasti sakit sekali melihat cowoknya tertangkap basah sedang berduaan di bilik toilet bersama sahabatnya.

Pulang sekolah, aku dan Ares langsung ke kedai fried chicken. Mengambil pesanan minggu lalu untuk dibawa ke sekolah pinggiran rel. Dan sore ini, aku kembali berada di antara anak-anak penghuni rel kereta. Ares, Kak Rose dan Kak Farhan nampak sedang bersenang-senang dengan mereka. Tapi aku memilih mengamatinya dari jauh, belum bisa terlepas dari kejadian beberapa jam lalu.

Berulang kali aku mencoba menghubungi Fei, tapi dia tidak mau menjawab. Sampai akhirnya nomornya tidak aktif. Pesanku juga sama sekali tidak dibaca. Khawatir sekali aku dibuatnya. Tau kan, dia sahabatku satu-satunya? Bagaimana kalau Fei membenciku dan tidak mau berteman lagi?

"Nada, siniiii!" Kak Rose berseru dari kejauhan.

Aku mengibaskan tangan, mau tak mau ikut berseru juga. "Kalian aja, aku liatin disini."

Ares ikut-ikutan menoleh. Dia menyimpan buku di tangannya, lantas beranjak. Tentu saja menghampiriku.

"Jangan dipikirin terus," ujarnya begitu duduk di sebelahku.

"Fei kayaknya beneran marah." Aku memutar-mutar handphone, berharap ada balasan yang tak terduga.

"Fei masih kesel aja. Setelah dia tau yang sebenernya, dia pasti gak akan marah."

Tapi masalahnya, Fei akan tau bahwa Pandu menyukaiku. Dan itu akan menjadi masalah yang lebih besar ketimbang kesalahpahaman di toilet.

"Aku takut Fei menjauh. Aku gak punya temen lagi, Res."

Ares menggeser duduknya lebih dekat. "Terus kamu anggap aku ini apa? Aku bukan temen kamu?"

Bukan. Ares lebih daripada itu.

"Ya kamu temen aku juga," sergahku. Mengkhianati bisikan lancang dari hati.

"Terus kenapa harus khawatir? Kan masih ada aku."

Aku menatapnya dan dia tersenyum.

"Aku akan selalu ada buat kamu. Gak usah sedih gitu."

Kalimat pertamanya kontan ku semogakan dalam hati. Karena sadar atau tidak, Ares memang paling kubutuhkan untuk kelangsungan hidup, setelah mama yang menduduki posisi pertama, tentu saja.

"Res, emang aku keliatan kayak cewek gak bener ya di foto itu?"

"Di foto iya," jawabnya "tapi kan yang lebih penting itu kejadian sebenernya. Aku yakin kamu gak salah. Kamu gak mau ada di posisi itu."

Aku menyilangkan kaki yang pegal. "Kamu sendiri, kenapa bisa tau aku ada di toilet?"

Seolah meniru, Ares menyilangkan kaki juga. "Aku mau ke toilet, pas lewat denger kamu teriak. Ya udah, aku langsung masuk."

Beruntung sekali. Aku manggut-manggut. Karena kalau Ares tidak ada, entah sudah seperti apa aku jadinya. Apalagi Pandu lebih agresif daripada cowok cupu yang kubayangkan. Dia menyeramkan.

"Satu minggu ini rasanya berat banget, Res," ujarku. Begitu merasa topik tadi telah memudar.

"Mau cerita sesuatu?"

Aku menoleh singkat, tatapan tulusnya ternyata sulit dielak. "Minggu lalu kamu gak sekolah. Gak ada kabar apa pun, bikin aku khawatir selama beberapa hari."

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang