Enam

406 43 3
                                    

Aku harus muntah dua kali demi mengeluarkan bangkai itu dari tas sekolah. Belum lagi darah keringnya yang melekat pada buku pelajaran. Meski hanya berupa tikus tanpa kepala, kenampakkannya tetap saja membuatku mogok makan.

Bagaimana tidak, kedua kaki depan hewan malang itu putus, sementara perutnya robek, membuat usus dan organ lainnya berhamburan. Darahnya tercecer di dalam tas. Dan ternyata 10 menit kemudian, kutemukan kepalanya di dalam pencil case. Si Pelaku mencongkel matanya dan mengelupaskan sebagian kulit sehingga nampak dagingnya saja.

Kembali, aku berlari ke kamar mandi namun sudah tidak ada yang bisa dimuntahkan. Tak perlu berpikir banyak untuk menduga siapa tersangkanya. Jika kemarin dia mencekikku di tangga, mengoleksi kursiku dengan lem, maka pembunuh tikus itu pun tak akan lepas dari orang yang sama- Nyx.

Sempurna sudah selera makanku hilang. Kukira mama sudah menyerah menyuruhku makan. Namun sekeluarnya dari kamar mandi, mama mengetuk pintu mengantar segelas susu hangat. Kuucapkan terimakasih lantas bilang akan segera tidur karena lelah. Dengan begitu Mama tak punya alasan lagi untuk mengetuk pintu.

Kepala tikus itu akhirnya dapat dibuang dengan susah payah. Sebagai sentuhan akhir, kusemprotkan pewangi ruangan ke setiap sudut kamar.

Susu yang mama buatkan hanya sanggup ku minum setengahnya. Meninggalkan buku yang berserakan di atas lantai, aku pun meloncat ke kasur membawa serta diary (yang untungnya tidak terkena darah sama sekali). Tak lupa, ku cek handphone, hanya untuk kembali kecewa bahwa Ares masih tetap offline.

Aku mencintaimu, Ares -964

Aku mencintaimu, Ares- 965

Begitu selesai menggoreskan tinta di tanda titik terakhir, aku rebahan. Baru sehari padahal, tapi rasanya sudah rindu sekali. Sedang apa dia sekarang? Sampai-sampai tak bisa sekedar memberi kabar.

<<

"Hei!"

Aku terhenyak. Bukan karena takut bahwa hantu- yang konon katanya menghuni pohon Tanjung- itu muncul. Tapi lebih karena tak menyangka ada yang tiba-tiba duduk di sebelahku.

"Kamu sakit?" tanya orang itu- cowok beriris hitam pekat.

Siapa? Aku menoleh melempar tatapan yang mewakili dua pertanyaan. Siapa kamu? Dan siapa yang sakit?

"Kamu," ujarnya seolah menjawab pertanyaan kedua.

Aku menggeleng kikuk.

"Tapi itu pucet,"

"Sedikit gak enak badan," akhir nya kujawab jujur karena memang semalam terserang demam.

"Kalo sakit ke UKS aja,"

Demi mendengar sarannya pergi ke tempat yang dihuni siswa malas belajar itu, aku menggeleng tegas.

"Kalo gitu tunggu, aku ambil obat buat kamu." Cowok itu langsung berdiri tanpa memberiku celah untuk memahami gelagatnya.

Seberapa banyak pun orang yang berlalu-lalang, tak ada yang memperhatikan dengan betul keadaanku. Apalagi sifat individualis yang melekat pada manusia penghuni sekolah ini. Sebulan sudah aku berstatus pelajar SMA dan selama itu pula aku menghabiskan jam istirahat di bawah pohon tanjung.

"Nih," tiba-tiba saja kresek hitam menggantung di depan wajahku.

Aku menerima kreseknya, masih terbengong-bengong. Begitu mendongak cowok itu tersenyum.

"Aku mau ke kelas. Dan kamu, cepat sembuh, ya," katanya.

Saat aku masih mengerjap-ngerjapkan mata tak mengerti, dia sudah berbalik kembali. Kutatap punggungnya yang semakin menjauh namun seketika teringat sesuatu.

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang