Dua Puluh Lima

245 26 1
                                    

Tangkaplah sebuah asa dari setiap tetes air hujan
Tanyakan pada langit yang tak henti menitikkan harapan
Tentang rahasia kekalnya kebahagiaan
Mengenai misteri dalam kebersamaan

Dilema berkutat pada pilihan memutuskan takdir
Teringat ada rasa yang mendesak terlahir
Tak ingin mengubah bahagia menjadi luka
Putuskan selagi samar belum menjelma gulita

Nada & Ares.

Bagiku, ini adalah puisi yang sarat emosi. Tertuang dengan bebas bersama rintik hujan di kedai kopi. Aku berada dalam rangkulan Ares selama beberapa waktu lamanya. Hangat. Asing. Namun tak bisa dilupakan.

Aku mencintaimu, Ares -993.

Ada yang berbeda pada istirahat kali ini. Ares sengaja menjemputku. Bukan hanya menunggu di luar kelas, melainkan masuk dan berjalan dengan santai ke mejaku.

"Hai." Dia melemparkan senyum manis seperti biasa, seolah hanya ada kami berdua di kelas.

Tatapan dari penghuni kelas menyiratkan kecemburuan dan tiba-tiba saja aku merasa menjadi wanita paling beruntung.

Aku balas tersenyum. "Tumben."

"Kenapa? Gak boleh?"

Sambil membereskan buku, aku menjawabnya dengan jahil, "Gak boleh."

"Ya udah," Ares melengos seperti anak kecil yang marah, refleks aku menarik tangannya. "Res,"

Dia berhenti dan berbalik tanpa senyum.

"Jangan marah," nada suaraku setengah memohon.

Pelan-pelan senyumnya kembali muncul. Malah dia terbahak sembari mengacak rambutku. "Bercanda Nad, kenapa sih serius amat?"

"Nyebelin!"

Ares terbahak sekali lagi. Mengabaikan beberapa pasang mata yang mengamati kami sejak tadi. Dia malah duduk di kursi sebelahku yang biasanya diduduki Fei.

"Kok malah duduk?" Tanyaku heran. Padahal jam istirahat pertama adalah jadwal ke perpustakaan.

"Gak papa," katanya, mulai memainkan tempat pensil di atas meja.

Aku menghembuskan napas sebelum kembali duduk. Selang beberapa menit, seseorang melongok dari balik pintu kelas- Pandu. Dia melangkah masuk, hanya satu langkah kemudian berhenti. Fei sedang tidak ada di kelas, jadi mau apa dia kesini?

Ares menatap sengit sekilas. Satu sudut bibirnya berkedut. Ketika Pandu beranjak keluar kelas lagi, aku baru mengerti mengapa Ares berada disini.

"Kamu sengaja kesini, biar Pandu gak nyamperin aku, Res?"

Ares mengangguk.

"Makasih," ucapku sungguh-sungguh. Kalau tidak ada Ares, Pandu pasti berani mendatangi mejaku. Semakin jelaslah bahwa aku adalah perusak hubungannya dengan Fei.

"Kalo IPS pindah ke IPA bisa gak, ya?" C
celetuknya.

"Ck, ngarang kamu, Res. Udah kelas sebelas, mana bisa pindah jurusan. Emang mau pindah ke kelas mana?"

"Ke kelas ini." Dia cengegesan.

Aku geleng-geleng. "Lagian di kelas ini kuotanya udah penuh, Res."

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang