A/N : tadinya mau up malem tapi takut kelupaan. Btw part ini dikit, soalnya lanjutan dari yang kemarin. But, happy reading guys!!
°°°°°°°°°°°
"Maaf. Saya lupa semua sudah berubah," ucapnya dengan senyum kurang ajar.
Aku membuang pandangan. Tetapi tetap saja, dari ekor mata dapat melihat dia berjalan ke bed lagi sembari mengeluarkan kemejanya yang kusut.
"Tadinya saya mau batalin acara hari ini, soalnya kamu enggak bisa hadir."
"Apa?" tanyaku tanpa menoleh.
"Acara serah terima jabatan. Tapi semua undangan terlanjur ke sebar. Padahal, saya pengen banget kamu hadir."
Tidak punya sopan santun, dia duduk di ujung bed, bersebelahan dengan kaki ku. "Gimana keadaan kamu sekarang?" tanya nya.
Demi menghindari matanya, aku harus kembali mengalihkan pandangan. Tidak dapat kuingat kapan Aldo bisa sebawel dan semenyebalkan ini. Padahal dulu dia adalah si kutu buku yang irit bicara.
Aku menjawab dengan tenang, "Tadi baik, sebelum akhirnya kamu datang."
Aldo tak langsung menjawab. Jadi, dapat kupastikan dia kalah telak. Baru beberapa detik kemudian suaranya kembali terdengar.
"Kamu berubah." Sarat kemarahan dan kekecewaan, pernyataan itu keluar dari mulutnya.
"Masalahnya apa?" Suaraku masih tenang terjaga.
"Saya cinta kamu, Nad. Kenapa kamu sebenci itu sama saya?"
Aku menatapnya lagi dan pandangan kami bertemu. Rasa sakit yang tersimpan apik di dalam hatiku kembali mencuat. Hanya dengan melihat matanya saja, semua ingatan tentang apa yang telah dia perbuat otomatis berputar.
"Bilang sama saya apa kesalahannya. Saya akan memperbaiki semua agar kembali membaik, Nad," katanya sungguh-sungguh.
Dia berdiri untuk mendekat ke sampingku, namun aku menahannya.
"Enggak ada yang perlu diperbaiki."
Aldo cepat-cepat menggeleng. "Hubungan kita. Itu yang harus diperbaiki."
"Kita masih temenan," sergahku.
"Kamu tau bukan itu maksud saya."
Hening.
Aku menggigit bibir bawah, menahan sesak yang berusaha membeludak. Terlebih begitu Aldo menyentuh punggung tanganku, mengelusnya. Sentuhan itu, yang dulu sempat mengaburkan perasaanku pada Ares, mewarnai hari-hari ku sampai lupa menulis kalimat di diary selama beberapa waktu lamanya.
"Setidaknya kasih saya alasan, kenapa kamu bersikap seperti ini." Suara Aldo melunak. Tangannya masih berada di punggung tanganku, tapi aku tak menghindarinya. "Enam bulan saya cari penyebabnya, tapi enggak bisa saya temukan. Saya tau ada yang salah, kasih tau saya, Nad."
Dinding ruangan mulai terasa menghimpit, membuat udara terasa menipis. Aku melepaskan tangan Aldo, kemudian duduk. Dia menunggu menatapku, sementara aku menatapnya serius. "Kamu cium Fei."
Air muka Aldo berubah seketika, menjadi sulit dibaca.
"Enam bulan yang lalu, di sekre KIR, kamu ciuman sama Fei." Masih kutatap matanya sungguh sungguh. "Hari itu, kamu bilang mau nunjukkin sesuatu. Dan ternyata adegan ciuman? Kamu bisa bayangin perasaan saya waktu itu, Al? Saya menaruh harapan besar sama kamu. Tapi malah ngeliat kamu ciuman sama sahabat saya sendiri. Sakit."
Aldo masih tampak syok, tapi kemudian dia menggeleng. "Saya punya penjelasan untuk hal i-"
"Penjelasan apa?" potongku cepat-cepat. "Penjelasan kalo kamu sebenernya punya hubungan sama Fei?"
"Saya enggak punya hubungan sama cewek mana pun selain kamu." Lagi-lagi Aldo membela diri. Matanya berkilat, yang tak dapat kupastikan apakah sebuah kemarahan atau kah berkaca-kaca.
Aku mengubah posisi duduk menjadi bersila. "Jadi ciuman itu apa?" Kemudian malah kaget sendiri mendengar suara ku yang kelewat santai. Sepertinya beban yang selama ini mengungkungku mulai menguap perlahan.
"Kamu salah paham, Nad. Bukan saya, tapi Fei yang memulai." Aldo duduk di depanku, masih enggan melepas tatapan nya. "Saya enggak ngerti kenapa dia tiba-tiba melakukan hal itu."
Mendengar kepolosannya yang seperti dibuat-buat, aku memutar bola mata lantas mengalihkan pandangan. "Saya juga enggak ngerti, kenapa cowok bisa nyalahin cewek dalam hal kayak gitu."
Pintu ruangan kembali terbuka, mengakhiri percakapan yang begitu menguras emosi ini. Aku bersyukur melihat mama datang membawa map dan refleks Aldo meloncat turun dari bed.
"Om, Tante," sapanya, beramah tamah.
"Nak Aldo, sudah lama?"
"Lumayan, Tante." Aldo melirikku sekilas. "Sekalian saya mau pamit pulang," ujarnya.
Membuatku cukup mampu menyimpulkan suatu hal, bahwa dia terlalu pengecut untuk melanjutkan dialog kami.
Apa pun yang selanjutnya terjadi, aku tak ingin mengetahuinya lagi karena handphoneku berdering singkat. Aku meraihnya. Melihat nama yang tertera di layar membuatku ingin berteriak.
Ares
Maaf, aku gak bisa ke rumah sakit sore ini.Dan seperti biasa, dia kembali offline. Sial!
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Halaman Terakhir [Telah Terbit]
RomanceCover by @achielll Sebagian part dihapus untuk keperluan penerbitan. __________________ Ares adalah temanku dan aku mencintainya! Yang bisa kulakukan selama ini hanyalah menulis kalimat 'Aku mencintaimu, Ares.' di diary. Jika kalimat itu sudah men...