Sebagaimana hari-hari biasanya, perpustakaan merupakan tempat yang cukup hening. Apalagi saat jam istirahat, dimana 75% manusia menjejali kantin seperti akan dibagi sembako; 10% makhluk berlabel cewek berdesakan di toilet untuk berhias; 5% para insan mager berdiam diri di kelas; 2,5% cowok berbadan kekar di arena olahraga; 5% tidak dapat kuprediksi, baru sisanya adalah orang-orang menyedihkan yang memilih melarikan diri ke perpustakaan.
Aku termasuk fraksi dalam persenan terakhir. Meski memang tak semenyedihkan itu. lebih-lebih lagi, kunjunganku ke perpus bukan hanya sekedar memacari buku tebal, tapi untuk menemui Ares. Si cowok ber-iris hitam pekat, dengan rahangnya yang tinggi, dan senyum memukau.
Setiap jam istirahat pertama, aku akan melangkahkan kaki dengan mantap memasuki perpus, dan duduk di jajaran rak buku terakhir. Tempat paling pojok yang kata orang-orang merupakan sudut terangker. Padahal menurutku nyaman-nyaman saja, bahkan bisa lebih menjaga privasi. Entah mereka yang parno, atau aku nya saja yang tidak percaya.
Duduk bersila terhalangi rak buku tinggi, aku pun mulai membuka diary berisi 962 kalimat berulang 'Aku mencintaimu, Ares.' yang memenuhi setiap lembarnya.
Sejak pertama kali memutuskan tertarik pada Ares, aku berinisiatif membuat kalimat tersebut sampai ke-1000. Sengaja tak langsung kuselesaikan secara bersamaan karena ingin meresapi setiap makna kalimatnya. Dan hari ini aku menulis lagi, kalimat ke-963. Jika seribu bangau dapat mengabulkan permohonan, kuharap 1000 kalimat juga bisa berbuah kebahagiaan.
Ketika samar-samar terdengar langkah kaki mendekat, aku menutup kembali diary, lekas menyimpannya. Tak lama, kepala Ares menyembul dari rak buku, seolah memastikan dulu keberadaanku. Begitu tatapan kami beradu, dia tersenyum.
"Hai," sapanya.
"Hai," dan seperti biasa, jantungku kian berdetak lebih kencang seiring mendekatnya Ares.
"Aku bawain makanan," dia menyerahkan kresek hitam, lantas duduk di depanku dengan posisi yang sama.
Menyadari larangan makan di perpustakaan, aku pun hendak protes namun Ares keburu mendahului,
"Aku udah izin sama Bu Mega, kok. Lagian tadi kesiangan, kan? Pasti kamu belum sarapan," katanya, menyebut nama penjaga perpus yang sudah kami kenal betul saking seringnya mengunjungi tempat ini.
Mau tak mau aku mengangguk. Bukan merupakan cewek penganut diet, aku memang tidak terbiasa dengan rasa lapar. Dan lagipula mana bisa pemberian Ares kutolak.
Sementara Ares mulai membuka-buka atlas kesayangannya, aku merogoh isi kantong kresek, mendapati roti selai kacang favoritku.
"Res," panggilku.
"Hm,"
"Apa sih yang kamu suka dari atlas?" suapan pertama masuk ke dalam mulutku bersamaan dengan Ares yang mendongak singkat.
"Banyak," jawabnya.
"Aku gak ngerti gimana kamu bisa sebegitu khusyuknya baca atlas, kayak ada tulisannya aja," komentarku. Mengingat kerjaanku baca-baca atlas cuma melihat rumah dan baju adatnya saja. Atau kadang bendera negara, mentoknya paling menatap peta Indonesia.
"Mata kamu minus setengah atau minus 20, sih?" katanya sarkastis.
Mata kiriku minus setengah dan mata kananku normal. Ares sudah tau, jadi tak perlu dijawab.
"Ini kan ada tulisan, Nad. Coba liat," dia lebih mendekatkannya kepadaku.
"S-A-M-U-D-E-R-A A-R-K-T-I-K," ejanya, sambil menunjuk jajaran huruf diatas bagian berwarna biru.
Aku memutar mata jengah, "Aku gak sebego itu,"
"Nah, itu tau,"
"Apa?"
"Nada, buku ini menyimpan banyak informasi. Kenapa aku sebegitu khusyuknya baca, ya karena aku suka peta. Menurutku, menarik banget kalau kita paham betul gimana lekuk setiap muka bumi. Terus, keren juga kan kalau aku bilang Circle itu ada di sebelah timur laut Fairbanks?" dia nyerocos.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata mencerna ocehannya. Akhirnya yang sanggup kutangkap adalah, "Fairbanks?"
"Itu salah satu kota di Amerika Serikat, letaknya di bagian utara, lebih tepatnya bagian negara Alaska,"
Senyuman percaya diri Ares malah membuatku jadi penasaran untuk menantangnya, "Kalau Gunung Olympus?"
Ares menutup atlas, kemudian menatapku, "Kamu suka mitologi Yunani, ya?"
Mendapati tatapan cukup intens dari Ares, aku terserang salting, "Emm..iya,"
Cowok di depannku terkekeh, "Gunung Olympus itu di Yunani, kalau ga salah 100 km dari Thessaloniki,"
Sialnya, pengetahuan Ares makin membuatku terpesona.
"Ada kisahnya juga, kan? Yang 12 dewa Olympus itu?" tanya Ares.
Aku mengangguk. Tanpa sadar roti di tanganku sudah habis, "Mereka dikenal sebagai Dodekatheon, berada di puncak Gunung Olympus. Ada Zeus, Hera, Demeter, Athena, Hestia, Apollo, Artemis, Aphrodite, Hephaestus, Hermes dan.."
"Ares," tandasnya.
"Iya," kurasakan bibirku tertarik dan pipiku memanas. Ares memang termasuk salah satu dari 12 dewa Olympus itu.
"Coba ceritain tentang Dewa Ares dong, Nad," pintanya.
Meminimalisir kegugupan yang tiba-tiba hinggap, aku meminum susu kotak yang Ares belikan sebelum menjawabnya. Ares tampak menunggu.
"Dewa Ares itu anak dari Zeus dan Hera. Dalam mitologi Yunani, dia adalah dewa perang, dewa yang haus darah. Segala macam alat perang, penyerangan, pertahanan kota, penjarahan, pemberontakan, keberanian dan kejantanan itu ada dalam kekuasaannya," aku menghela nafas dan cukup puas dengan ekspresi takjubnya.
"Kalau di mitologi Romawi, dia dikenal dengan nama Dewa Mars. Katanya, Ares selalu muncul dengan berbagai penjelmaan dari kengerian perang,"
"Luar biasa," Ares menggeleng-gelengkan kepala.
Aku tersenyum.
"Menurut kamu, aku sekeren Dewa Ares, gak?"
Pertanyaannya sukses membuat nadiku mengalir deras. Dan lagi, tatapan penasaran dari Ares malah makin memperburuk keadaan.
"Dewa Ares keren, begitu juga Ares yang aku kenal. Semua punya kehebatannya masing-masing," jawabku sewajarnya.
Ares tersenyum, manis sekali. membuatku harus cepat-cepat menunduk jika tak ingin terserang panas dingin.
Bertepatan dengan sisa kemasan yang kubuang ke tempat sampah di pojokan, bel masuk berbunyi keras. Seolah sadar bahwa jam pertemuan telah berakhir, aku dan Ares berjalan beriringan menuju pintu. Sebelumnya, kami mengucapkan terimakasih pada Bu Mega.
"Nanti ceritain tentang Athena, ya?" ujar Ares saat mencapai pintu.
Aku mengangguk. Sama-sama kami memakai sepatu yang sengaja dilepas jika memasuki ruang perpustakaan. Ares selesai beberapa detik lebih lama dariku karena sepatunya bertali.
"Ares," sapaan itu meluncur begitu saja.
"Ya?" cowok itu menoleh demi memenuhi panggilanku.
"Eee.." Aku cinta kamu, Ares. Aku sayang kamu.
"Gak jadi,"
Ares berdecak, "Kalo gitu aku ke kelas, ya," dia mengacak rambutku sebelum berbalik menuju kelasnya.
Itulah Ares kalau kalian ingin tau. Selalu bersikap manis. Tapi hanya sebagai teman, setidaknya sudah sepuluh kali dia menegaskan hal itu.
Ini dia part pertama:)
Voment nya jangan lupaaa!
See you next part!
Lv u🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Halaman Terakhir [Telah Terbit]
RomanceCover by @achielll Sebagian part dihapus untuk keperluan penerbitan. __________________ Ares adalah temanku dan aku mencintainya! Yang bisa kulakukan selama ini hanyalah menulis kalimat 'Aku mencintaimu, Ares.' di diary. Jika kalimat itu sudah men...