Tujuh

388 37 1
                                    

Setidaknya aku bisa mendengar suara Ares hari ini. Tak banyak yang dibicarakan dalam percakapan via telepon yang berlangsung selama kurang dari 1 menit itu. Kukatakan yang sejujurnya soal teror bangkai tikus semalam, dan dia bilang agar aku lebih waspada pada siapapun. Lagi-lagi sebelum telepon ditutup, Ares mengingatkan "Jaga diri baik-baik."

Begitu bel pulang berbunyi, aku mampir ke perpus, sekadar membantu Bu Mega membereskan buku-buku.

"Ares masih belum sekolah?" tanya wanita cantik itu.

Aku hanya menggeleng.

"Hari ini nggak banyak yang datang ke perpus, jadi buku-buku nya lumayan rapi," kata Bu Mega selagi membawa tumpukan buku di meja dan menyusun nya ke rak.

Aku mengangguk membenarkan, karena memang dalam sekejap saja semua buku sudah kembali ke tempatnya.

Mentari bersinar sangat cerah dan tepat seperti jadwal biasanya, aku tiba di kedai fried chicken yang tak jauh dari sekolah. Si mbak kasir bertanya apakah minggu depan akan pesan lagi, ku jawab 'iya'. Setelah menukar tiga lembar seratus ribuan dengan dua kresek besar, aku menaiki angkot menuju pesisir kota.

Seruan dua puluh lebih anak-anak menyambutku saat turun dari angkot. Seorang cowok berambut gondrong mendekat, membantuku membawakan kresek.

"Ares mana?" Tanya nya.

"Gak sekolah." Sahutku saat mulai berjalan.

Dialah Kak Farhan. Seorang mahasiswa yang menjadi relawan pendiri sekolah non formal pinggiran rel. Ares yang memperkenalkan ku padanya saat kesedihan atas meninggalnya papa tak kunjung reda. Terhitung sudah sekitar setahun dan ini kali pertama aku datang sendirian tanpa Ares.

Anak-anak mulai berkumpul mengerubungiku dan Kak Farhan. Kak Rose -kekasih cowok itu- mulai mendekat dan tersenyum. Satu persatu box nasi mulai berpindah pada tangan mungil anak-anak. Mereka lantas duduk berjajar tampak lahap menikmati jatah makannya.

Waktu Ares membawaku ke sini, aku hanya ingin mati. Rasa bersalah atas meninggalnya papa mendorongku untuk mengakhiri hidup agar dapat menyusul nya. Ares tau betul, papa meninggal dalam kecelakaan ketika mengantarku ke sekolah. Saat itu langit mulai gelap, dan aku makin panik karena gerbang pasti akan dikunci sementara handphone-ku tertinggal di laci meja. Ketika papa menekan pedal gas semakin dalam, sesuatu yang keras menabrak mobil dari arah berlawanan. Tau-tau aku sudah berada di rumah sakit dan papa...

"Nada,"

Aku terkesiap pada sentuhan yang tiba-tiba Kak Rose berikan.

"Mikirin apa?"

"Enggak Kak." Aku berdalih.

"Jujur aja. Ares? Atau mendiang papa kamu?"

Aku menoleh singkat, mendapati sorotan teduhnya, "Keduanya."

"Masih ingat apa yang aku bilang waktu itu?" tanya Kak Rose.

Sejurus kemudian aku berpikir, "Akan ada sosok yang datang untuk setiap sosok yang pergi?"

"Betul," katanya disertai senyum, "Aku rasa kita pernah melewati fase depresi yang sama saat kehilangan orang tua. Tuhan mengirimkanmu Ares sementara aku mendapatkan Farhan."

Kini sepenuhnya aku menyerongkan tubuh agar lebih seksama mendengarkan.

"Semata-mata mereka dikirim untuk sebuah tugas. Entah itu merubah pandangan kita tentang dunia, memberi semangat atau bahkan sebatas singgah saja. Hingga kita merasa ketergantungan atas kehadirannya, benar?"

Aku mengangguk. Tanpa Ares rasanya aku tak ingin bernapas.

"Aku juga, Nad, aku juga begitu sama Farhan. Tapi semenjak dia bilang bahwa 'yang datang bisa saja kembali pergi', aku gak lagi menggantungkan semua harapanku pada dia."

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang