Dua Puluh Dua

265 29 1
                                    

Happy reading!!!!
_______________________

Aku mencintaimu, Ares -982

Aku mencintaimu, Ares -983

Dua kalimat itu adalah untuk seluruh kalimat manis yang Ares ucapkan kemarin.

Pagi-pagi sekali aku sudah tiba di sekolah. Mendatangi setiap mading, menempelkan foto yang kucetak ukuran 4R. Kali ini Nyx yang berada dalam foto tersebut, memegang rokok yang menyala, berada di pangkuan seorang cowok.

Foto-foto ku yang memarin ternyata sudah dibersihkan. Bagus juga, jadi aku tidak perlu keliling untuk merobeknya. Tinggal menyiapkan diri dan mental menghadapi sikap orang-orang. Lebih-lebih Fei. Seharian kemarin dia tetap tidak bisa dihubungi.

"Fei?" Aku kaget mendapatinya sudah berada di kelas.

Dia mendongak, lantas memyeringai. "Kenapa lo lakuin itu?"

"Fei gue gak bermaksud-"

"Kenapa lo nusuk gue dari belakang?" Fei benar marah.

"Gue gak berniat sedikit pun. Lo juga tau gue cuma suka Ares, dan-"

"Dan sekarang lo tertarik sama Pandu," potongnya.

Aku menggeleng, tidak bisa berkata-kata apa pun lagi. Hanya membiarkan Fei berdiri, mengambil tasnya kemudian menatapku lekat-lekat.

"Lo sama Pandu, sama aja. Sama-sama khianatin gue," desisnya, kemudian meninggalkan kelas.

Ini kacau! Semua gara-gara Nyx!

Aku terduduk lemas di bangku. Menelungkupkan wajah pada lipatan tangan, membiarkan semua ketakutan mengepung lagi.

"Nada... "

Tau-tau sebuah tangan mengelus kepalaku. Biarkan saja, mungkin Ares.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Suara ini, sama sekali bukan Ares.

Jadi aku terpaksa mengangkat muka. Menemukan Aldo yang berdiri merunduk dengan tangan yang segera ditariknya menjauh. Ada perban di keningnya, pasti karena luka sobekan tempo hari.

"Ngapain kamu di sini?" Tanyaku ketus.

Aldo mengusap tengkuknya. "S-saya khawatir. Seharian kemarin cari kamu, tapi enggak ketemu."

"Kenapa harus khawatirin saya? Bukan nya kamu tau, saya sama Pandu ada di foto itu?"

"Saya yakin kamu gak salah. Makanya kemarin saya langsung kasih pelajaran sama Pandu."

Pelajaran?

"Kamu enggak apa-apa kan?" tanya nya lagi.

"Seharusnya yang kamu khawatirin itu Fei." Aku tersenyum miring. "Bukan saya."

Air muka Aldo berubah keras. Dari situ aku tau telah menyentil perasaan nya. "Seharusnya saya tau kamu baik-baik saja. Menghadapi perjanjian saja kamu bisa, kenapa masalah sekecil ini tidak."

Perkataan nya menamparku dengan telak. Tapi justru hal itu yang membangunkan benteng permusuhan di antara kami.

"Jadi, kenapa masih di sini?" Aku menatapnya sengit.

Aldo menatapku dingin. "Semoga sukses," ujarnya. Lantas beringsut keluar kelas.

Aku menghembuskan nafas keras-keras. Menjauhkan diri dari cengkeraman ketakutan atas perjanjian konyol yang Aldo ciptakan. Sebisa mungkin tetap mengisi setiap sendi dengan keberanian. Meski pun sejujurnya aku takut luar biasa.

Satu per satu murid memasuki kelas. Tak lupa melempar tatapan melecehkan, seolah itu menjadi kewajiban yang kini diemban. Beberapa orang bahkan meneriakan sindiran serupa kemarin.

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang