33. Atmosfer Terbaik

250 28 3
                                    

"Aku seperti dimainkan oleh rasa yang begitu samar. Ditarik kian dalam menuju harapan yang mungkin akan memudar. Pada satu titik, kuyakini dia mau mendengar. Tapi disisi lain, kutakutkan cinta ini akan terlantar."

◻◻◻◻◻◻

Aku mencintaimu, Ares -1000.

"Aku juga," kataku parau "aku juga sayang kamu."

Telingaku dipenuhi detak jantung Ares, sementara suara rintikan hujan telah sepenuhnya memudar. Dia memelukku begitu erat hingga suhu tubuhnya menguar, seolah mentransfer panas. Kurasakan Ares mencium puncak kepala beberapa kali sebelum menaruh dagu disana. Kadang pada saat begini, aku merasa Ares adalah milikku sepenuhnya. Tak ada Al atau wanita manapun yang berhak.

"Nad," Ares melepas pelukannya. "aku lagi demam, aku gak mau kamu ikutan sakit."

Aku mengerti dan setuju untuk menjauh.

Dia menatapku sekali lagi, mengusap air mata yang tersisa di pipi. "Jangan bandingin diri kamu sama Al, kalian itu beda. Kamu lebih berharga."

Mau tak mau aku tersenyum lebar. Setidaknya walaupun sama-sama teman atau sahabat, keberadaanku lebih diinginkan Ares dibanding Al. Dan itu lebih dari cukup sebagai energi untuk pernyataan cintaku setelah ini.

"Kamu tidur di kamar aku aja, ya?" perintahku, berhubung kamar di rumah ini hanya ada dua -punyaku dan punya mama.

Ares menggeleng cepat-cepat. "Aku disini aja, kamu yang di kamar."

"Kamu kan lagi sakit, disini dingin, Res."

"Gak papa, pake selimut juga bisa, kan," kekehnya.

"Ya udah." Aku mengalah. "Aku ambil bantal sama selimut dulu kalo gitu."

Ares mengiyakan. Lantas aku menuju kamar, membawa benda yang dimaksud. Tak lupa juga menyambar handuk kecil untuk mengompres. Jam digital menunjukkan angka 21.30 saat aku meliriknya sekilas.

Kembali ke ruang TV, Ares ternyata sudah merebahkan badannya di sofa panjang. Aku menyerahkan bantal kemudian menyelimutinya.

"Maaf jadi ngerepotin kamu," ucap Ares tak enak.

"Jangan bilang kayak gitu. Seperti yang aku bilang, aku seneng bisa ngerawat kamu," jawabku sembari memperbaiki posisi selimut. "Masih dingin?"

"Udah, cukup. Makasih, ya."

Aku tersenyum sebagai balasan. Membawa serta handuk, kudatangi dapur untuk mengambil air hangat serta segelas air putih.

"Besok ke dokter aja, Res." kataku begitu berada di sebelahnya lagi. Aku memilih duduk di karpet sehingga wajahku dan Ares sejajar.

Ares menyampingkan tubuhnya. "Iya, besok pagi-pagi aku ke dokter,"

Setelah yakin air hangatnya pas, aku mencelupkan handuk dan memerasnya. "Aku ikut,"

"Kamu kan sekolah,"

"Tapi aku pengen nemenin kamu," ujarku sembari menempelkan handuk basah ke kening Ares.

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang