Delapan Belas

262 32 6
                                    

"Nih." Aku menyerahkan proposal bertanda tangan Aldo. Bel pulang sudah berbunyi satu jam yang lalu.

Al memekik tertahan, matanya membulat tak percaya. "Lo dapet tanda tangannya? Kok bisa?"

Aku hanya tersenyum. Tidak mungkin membeberkan semuanya di sini.

"Dia gak minta apa-apa, Nad?" Ares menyentuh bahuku. Jelas mencium ada yang tidak beres.

Tanpa menjawab, aku melemparkan tatapan singkat.

"Lo harus ketemu anak-anak yang lain, Nad. Mereka pasti pengen berterima kasih secara langsung. Ayo!" Al bersiap menarik tanganku dengan antusias.

"Lain kali aja," tolakku cepat, "sampein salam aja ke mereka, maaf juga gak bisa ikut kumpul."

"Oh gitu, ya. Ya udah deh, nanti gue sampein." Al meraih kedua tanganku, meremasnya pelan. "Makasih sekali lagi. Kita berhutang banyak sama lo."

"Gak usah dipikirin. Sukses ya buat klub geo," ucapku tulus.

Tak berlama-lama, aku beranjak meninggalkan Al dan Ares, berbelok menuju lobi depan. Tapi tau-tau Ares menyusul dan berjalan di sebelahku.

"Apa yang kamu kasih sama Aldo?"

"Kamu gak akan seneng dengernya," jawabku. Masih terus berjalan.

"Aku perlu tau."

Mungkin karena aku tidak menggubrisnya, dia menarik ranselku. Aku terhuyung mundur, nyaris terjatuh. Tapi dia cukup bertanggung jawab untuk menahanku agar tidak menyentuh lantai.

"Ares, lepas." Aku menyingkirkan tangannya yang melingkar di bahuku.

"Makanya kamu cerita." Dia mundur selangkah, memberi ruang.

Koridor yang sepi membuatku tidak bisa menghindar lagi. Terlebih, iris hitam pekatnya yang telah mengunci sekaligus menelanku bulat-bulat. Aku tak tau harus mulai darimana, jadi langsung saja, "Aku harus ikut lomba fingerstyle di festival musik. Dan harus dapet juara satu."

Mulut Ares terbuka sedikit, menandakan dia kaget.

"Kalo aku kalah, aku harus jadian sama Aldo." Di akhir kalimat aku menjatuhkan pandangan, tak sanggup menerima tatapannya.

"Kenapa?" Suara Ares berubah aneh.

"Aku gak tau. Aldo langsung ngasih-"

"Kenapa kamu setuju?" potong Ares masih dengan suara aneh yang tak kukenal.

"Gak ada pilihan lain, Ares. Aldo gak mau tanda tangan kalo aku gak setuju sama perjanjiannya."

"Kita bisa cari cara lain. Kalo kamu kalah gimana?"

Aku menaikkan pandangan dan langsung bersitatap dengan mata berkilat marahnya. Benar kan dugaanku, Ares tak akan suka mendengar hal ini.

"Res, kesempatan pembentukan eskul itu cuma sebulan lagi. Jadi kalau enggak di tanda tangan sekarang, gak akan keburu."

"Tapi kamu gak perlu berkorban sejauh itu!" Tak dinyana suara Ares meninggi.

Aku kaget bukan main. Selama ini, belum pernah dia membentakku.

Tangan Ares mengepal, rahangnya mengeras. Aku memilih menatap ujung sepatuku, benar-benar takut untuk sekedar membalas tatapannya.

"Klub geo belum tentu berhasil. Seharusnya kamu gak ngambil keputusan gegabah kayak gini!"

Aku tidak dapat menjawab karena terlambat menyadari betapa bodohnya aku. Sekali pun ini demi Ares dan anggota klubnya, aku terlalu jauh menerima tantangan. Tapi semua sudah terlanjur disetujui, kan?

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang