30. Bangkai Tikus Lagi?

235 27 2
                                    

Aku berada di perpustakaan tanpa Ares. Dia bilang ada urusan klub mendadak dan aku tidak ingin ikut campur. Karena sudah terlanjur duduk di bangku perpus, aku terlalu malas untuk kembali ke kelas.

Buku tentang teknik kunci gantung pada gitar terbuka begitu saja, tapi aku tidak membacanya. Yang justru kupandangi adalah angka terakhir pada diary.

997

Betapa angka itu berkembang begitu cepat. Dan bahkan, belum genap aku menginjak kelas 12, kalimat itu mungkin telah mencapai ke-seribu.

"Hai, Nad,"

Aku mendongak, langsung mendapat serangan badmood. Tebak siapa?

"Lagi ngapain?" Pandu menarik kursi di sebelahku lantas duduk santai seolah sudah dipersilahkan.

"Lagi sibuk," ujarku sembari menutup diary dan beralih pada buku yang tadi terabaikan.

"Lagi baca apa?"

Aku tidak merespons.

Ditariknya buku itu tanpa sopan santun kemudian dia tersenyum simpul. "Lo mau belajar gitar? Gue bisa ajarin, kok."

"Gak usah, Pan, makasih." Meskipun niatnya ingin menolak dengan halus, suara yang keluar tetap saja sinis dan kasar.

Pandu mengembalikan bukunya padaku. Dia sendiri menaruh buku kecil seperti kamus, yang mungkin berisi rumus-rumus pelajaran eksak. "Gue boleh duduk disini kan?"

'Perpus tempat umum. Kenapa mesti nanya sama gue?'. Aku ingin menjawab demikian, tapi tiba-tiba mendapat teguran dari perasaan, yang mengingatkan itu tidak pantas diucapkan. Jadilah aku mengangguk dan berujar, "Boleh."

Menit-menit selanjutnya kembali hening. Aku bersyukur karena Pandu tidak mengacau. Dia benar-benar membaca dengan khidmat. Dalam sesaat, yang kulihat adalah Pandu si Ketua KIR yang pintar.

Hanya saja, keadaan tak lagi sama pada menit berikutnya. Seorang cewek tiba-tiba berdiri di hadapanku, menatap dengan alis terangkat.

"Fei?" cicitku. Dengan Pandu yang berada dalam jarak dekat, aku tidak berani membalas pandagannya. Terlebih, yang kukatakan pada Fei adalah akan menemui Ares.

"Aresnya mana?" Kedua tangan Fei menahan pada meja, seperti menciptakan sikap mengintimidasi.

"Ada urusan klub, jadi gak bisa kesini."

Pandu menyentak bukunya hingga tertutup. "Gue lagi belajar, Nada juga sama. Lo gak perlu lah bersikap kayak gitu, Fei."

Perasaanku menjadi tak karuan. Kenapa Pandu harus berkata seperti itu? Aku menatap Fei dan air mukanya tidak bisa ditebak.

"Kalo gitu, gue boleh dong ikut belajar disini?"

Aku menelan udah.

"Boleh, duduk aja," ujar Pandu singkat.

Fei tersenyum miring padaku, kemudian menarik kursi dan duduk tepat dihadapan. Sepertinya tak perlu lagi kujelaskan yang terjadi setelahnya. Hanya hening. Dan kecanggungan. Semoga bel masuk cepat berbunyi lagi.

---

"Tadi di perpus canggung banget," ceritaku saat menuruni tangga rooftop. Baru saja selesai latihan gitar dengan Delvin.

Ares menoleh. "Kenapa?"

"Pandu nyamperin,"

"Pandu?" Ares berhenti di tengah-tengah tangga.

"Tapi gak apa-apa kok, dia cuma duduk di sebelah aku terus belajar. Gak gangguin juga."

"Bener gak gangguin?" Dia masih berdiri di anak tangga yang sama, menatap intens.

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang