Dua Puluh Tujuh

236 23 0
                                    

Happy reading!!
🔸🔸🔸🔸🔸🔸🔸🔸

Pagi-pagi sekali bel rumah meraung-raung. Bahkan aku sendiri baru membuka mata dan belum menginjakkan kaki ke ubin. Aku mencuri dengar dari balik selimut. Ternyata, itu tamu mama. Om Herman. Sudah lama rasanya tidak bersinggungan dengan lelaki itu. Namun sekalinya datang, malah pagi-pagi begini.

Aku sama sekali tak berniat keluar andai saja mama tidak berseru memanggil. Ritualku dan mama adalah sarapan bersama. Jadi, menghindarinya bukanlah hal yang baik.

"Ya, Ma, Nada mandi dulu sebentar."

Di kamar mandi, aku sengaja mengulur waktu. Dalam momen apapun, bertemu Om Herman adalah hal yang memuakkan. Terlebih ketika aku ingat dia memeluk mama pada hari meninggalnya papa. Sungguh, kenangan yang buruk sekali.

Sayangnya berada di kamar mandi lama-lama bisa membuat dingin juga. Aku buru-buru menyambar handuk dan berpakaian. Begitu turun ke bawah, mama dan Om Herman sudah siap meja makan.

"Pagi, Nada," sapa Om Herman.

Aku mengangguk sebagai balasan. Lantas menarik kursi di sebelah Mama. Sudah beberapa kali weekend pria paruh baya itu tidak berkunjung.

"Ayo makan, Nad. Ini Om Herman yang bawain." Mama menyodorkan semangkuk bubur yang masih mengepulkan asap. "Mau pake sambal?"

"Gak usah, Ma." Baru saja sendok bubur itu akan masuk ke mulutku, bel rumah berbunyi lagi. Otomatis aku menaruh kembali sendok. "Biar Nada yang buka."

Mama mengiyakan. Saat membuka pintu depan, kutemukan cowok berpakaian casual berdiri dengan senyum manisnya.

"Selamat pagi." Rambut basahnya menandakan bahwa dia baru saja mandi. Sementara T-shirt merah menyala yang dia kenakan seolah mentransfer semangat padaku yang sedang begitu malas.

"Pagi juga, Res." Aku yakin kali ini menampilkan senyum ceria. Kunjungan Ares di sabtu pagi rasanya merupakan hal yang luar biasa.

"Ada tamu?" Ares mengintip ke belakang pundakku.

"Om Herman," sahutku malas.

"Temen mama kamu?"

Aku mengangguk. "Ngapain pagi-pagi kesini?"

"Tadinya mau ngajak cari sarapan sih, tapi kayaknya kamu lagi sarapan bareng-"

Cepat-cepat aku menggeleng. "Enggak kok. Ayo, kita cari sarapan."

"Loh?"

"Bentar." Aku melongok dari pintu, setengah berseru, "Ma, Nada mau keluar ya."

"Kemana?" Terdengar sahutan dari dalam.

"Nemenin Ares, ada perlu."

"Hati-hati!"

Aku tersenyum miring pada Ares. Menyampaikan tanpa kata-kata bahwa semua sudah beres dan kita bisa pergi sekarang. Meskipun Ares nampak tak membenarkan caraku berpamitan barusan, dia tetap saja mengikutiku yang sudah lebih dulu melintasi halaman. Lagi-lagi fortuner putih telah terparkir anggun di depan pagar.

"Res, aku kangen naik motor, deh," ujarku jujur. Mengingat pada awal pertemanan kami, biasanya Ares selalu membawaku naik KLX hijaunya.

Ares tersenyum tanpa menanggapi sepatah katapun. Dia menekan remote, sehingga alarm mobil berbunyi.

"Motornya masih ada, kan?" tanyaku lagi sembari masuk ke mobil.

"Ada kok. Aku lagi gak kuat aja kena angin di motor," jawabnya begitu menutup pintu kemudi.

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang