Dua

740 63 18
                                    

Awan hitam yang mengarak dari barat membuat suasana sekolah terasa mencekam. Terlihat dari kebanyakan siswa yang berjalan tergesa, takut terjebak hujan. Selagi menuruni tangga menuju lobi, sekonyong-konyong rambutku dijambak dengan kuat.

“Lo kan pelakunya?!” belum-belum mencerna apa yang terjadi, teriakkan membahana lebih dulu membuat telingaku berdengung.

“Ngaku deh lo!!” teriaknya lagi.

Muak, aku pun berbalik, mendorongnya dengan sekali hentakan sehingga cengkramannya terlepas, “Nyx?”

“Ya, ini gue!” matanya menyalang. Dia Nyx, si-penguasa kelas yangmengklaim bahwa dirinya adalah ratu dari segala hal.

“Kenapa?”

“Emang idiot ya lo!”

Idiot katanya. Nyx, pemegang peringkat pertama di kelas barangkali tidak tau definisi kata. Idiot adalah tingkat kecerdasan berpikir yang rendah, dengan IQ kurang dari 20. Bagaimana bisa aku berada dalam jurusan IPA dengan kecerdasan selemah itu?

“Gak usah basa-basi lagi! Ngaku aja, lo yang ngadu ke Bu Wida kan?!” Nyx menunjuk tepat di depan hidungku.

Bila menyangkut Bu Wida dan pengaduan, tak salah lagi, pasti soal laporanku pada guru BK itu.

“Kalau gue, emang kenapa?” tantangku akhirnya. Sekelebat rekaman memori tentang penyelewengan Nyx berputar begitu saja. Cewek itu tak sengaja kulihat tengah nongkrong bersama cowok barbar dan bahkan berani merokok.

“Berani ya lo!” seketika Nyx mendorong tubuhku hingga membentur dinding. Napasnya mulai tak beraturan.

Sakit yang menjalar di punggung mengundang jiwa pemberontakku. Aku balas mentapnya berang, “Di tata tertib ada larangan merokok, Nyx. Dan gue berusaha menegakkan peraturan,”

“Bacot!” kedua tangannya tiba-tiba mencekik leherku.

Napasku tersengal.

“Gue gak suka orang sok suci kayak lo!”

“G-gue juga g-gak suka- pelanggar kayak l-lo,” ucapanku berimbas pada cekikannya yang semakin mengerat. Kali ini aku benar-benar tak bisa bernapas.

Nyx tersenyum miring, “Mampus lo,”

Aku menggapai-gapai tangannya. andai harus mati detik ini juga, aku tak ingin terbunuh oleh tangan kotor Nyx. Dan kenapa juga tak ada seorang pun yang melewati tangga ini?!

“Ini akibatnya kalo lo berani sama gue,” dia mendesis.

Mataku berair karena sesak. Nyx terlihat makin senang.

“Nada,” seseorang berseru dari anak tangga teratas.

Sontak Nyx menjauhkan tangannya. Sama-sama mendongak, kudapati Ares dengan raut kaget.

“Masalah kita belum selesai,” ucap Nyx rendah. Sesudah itu dia pergi.

Aku menghembuskan napas keras-keras. Kelegaan langsung mengalir saat Ares tiba di depanku.

“Apa-apaan dia tadi?” tanyanya, masih nampak tercengang.

Alih-alih menjawab, aku lebih memilih meraba-raba leher, memastikan baik-baik saja.

“Kamu gak papa?” Ares bertanya lagi, kali ini khawatir.

“Gak papa,” aku mengangguk yakin sebelum menyandarkan tubuh ke dinding. Kukira tadi akan mati.

“Kalian ada masalah apa?”

“Gak ada,” dalihku dan langsung menunduk.

“Terus kenapa dia sampai nyekik kamu tadi?” telapak tangan kiri Ares bertopang pada dinding sebelahku. Bukannya memberi efek nyaman, aku malah dibuat rikuh oleh jaraknya.

Dan aku tak bisa berpikir lagi.  Biar bagaimana pun aku tak pernah pandai berbohong.

“Nada,” kembali Ares memanggil.

“Aku laporin Nyx ke guru BK,” paparku akhirnya.

“Karena?”

“Dia ngerokok,”

Ares menarik tangannya kemudian bersedekap. Waktu aku menaikkan pandangan, iris hitamnya telak menusuk mataku.

“Gak semua hal perlu jadi urusan kamu, Nad,”

Aku masih menatapnya.

“Ada saatnya kita hanya perlu diam. Agar diri kita tetap berada dalam zona aman,”

“Aku cuma mau  peraturan bisa berdiri,” sergahku.

“Iya aku tau, tapi kalau pada akhirnya kamu jadi incaran orang lain?”

“Guru BK bilang kan dari awal, biar kita bisa kerjasama sama mereka? kalau ada bentuk pelanggaran, mereka minta langsung dilaporkan. Aku melakukannya, Ares. Menurut kamu itu salah?” lagi-lagi aku membela diri.

Ares menarik nafas pelan, terdiam. Sementara air hujan baru saja terdengar menetes menimpa atap.

“Hujan,” gumamku, entah terdengar olehnya atau tidak.

Merasakan tatapan Ares kembali, aku pun menatapnya balik.

“Lain kali lebih berhati-hati lagi. Kalau mau laporan sama BK, pastiin dulu kamu akan aman,” ucapnya.

Aku menghela napas kalah, “Ok,”

Ares mengangguk. Baru setelah itu kami menuruni sisa anak tangga dan berjalan menuju lobi.

“Aku suka hujan,” kata Ares tiba-tiba.

Aku menoleh sejurus, lalu berujar pelan, “Aku suka kamu,”

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

“Kenapa, Nad?” dia baru menoleh. Respons yang sangat lambat, atau jangan-jangan dia malah tuli?

“Gak papa,” aku menggeleng-gelengkan kepala. sekaligus menepis segala gejolak emosi berikut dengan detak jantung kencang yang mendadak menyerang.

“Ares!”

Refleks aku menoleh, begitu juga dengan Ares. Teriakan nyaring itu berasal dari cewek yang kini mendekat.

“Kenapa, Al?” tanya Ares. Artinya dia kenal siapa cewek itu.

“Ada waktu gak? Kita diskusi sebentar soal bikin Klub Geografi itu,”

Aku menatap mereka bergantian dan bersyukur tak ada hal mencurigakan apapun.

“Boleh, sih. Anak-anak pada ngumpul?’

Cewek yang Ares panggil ‘Al’ itu mengangguk, “Udah pada di kelas gue, tinggal nunggu lo,”

“Ok, kalo gitu,” kata Ares, lantas menoleh kepadaku, “Aku ngumpul sama anak-anak dulu ya,”

Dan memangnya aku punya hak apa untuk melarang? Aku pun mengangguk.

“Pacar lo Res?” cewek itu bertanya.

Kutatap Ares, sekedar memberi isyarat bahwa dia punya kekuasaan penuh untuk menawabnya. Ares tersenyum tipis.

“Bukan, Al. Cuma temen aja,” katanya.

Dan lagi-lagi kenyataan itu menamparku.

Nah nah, jangan lupa vote dan komen nya ya!

Lv you🖤

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang