Sebelas

303 39 7
                                    

Happy reading!!

Pagi-pagi sekali aku sudah digiring ke ruangan berbenda aneh guna melakukan CT scan kepala. Mama yang memaksa, atau ok lah meminta, yang pada akhirnya aku kabulkan. Mengingat takut juga kalau seandainya terjadi sesuatu di dalam kepala ku dan hal itu terlewatkan.

Berada disini membuatku mati perlahan ditelan bosan. Mama memerintah agar tetap rebahan di bed. Padahal sesungguhnya aku bisa saja melompat-lompat seandainya mau. Sekadar membuktikan bahwa memang sudah baikan. Satu-satunya yang menahanku disini adalah hasil CT scan itu, yang akan keluar sesorean.

Aku mencintaimu, Ares -969

Aku mencintaimu, Ares -970

Aku mencintaimu, Ares -971

Senang rasanya bisa bermain dengan diary kembali. Meski disisi lain aku tak menyangka efek Ares yang tidur di pangkuanku bisa separah ini. Tiga kalimat dalam satu waktu. Membuatku merasa bodoh karena seribu kalimat itu semakin dekat.

Perhatianku teralihkan saat Mama tiba-tiba beranjak membuka pintu lantas menghilang. Menghitung waktu saat pintu kembali terkulai terbuka, aku sudah bisa menebak dengan pasti siapa yang akan datang.

"Sore, Nad," sapa orang itu- Om Herman.

"Masih siang, Om," sahutku pelan, namun cukup untuk didengar Mama sehingga wanita itu melotot. Kubalas dengan cengiran tanpa rasa bersalah. Sedangkan diary kuselipkan dibawah bantal.

"Om bawakan buah-buahan," katanya sambil meletakkan parsel buah itu diatas cupboard.

Aku mengangguk singkat. "Makasih."

Om Herman tersenyum. Alih-alih membalasnya, aku lebih memilih menyampingkan tubuh seraya menarik selimut. Hanya karena tau bahwa Mama akan mengelus lengan pria itu dengan melempar tatapan yang seolah mengatakan "Abaikan sifat Nada, ya, Mas.". Dan aku akan mual melihatnya.

"Duduk di sofa yuk, Mas," ujar Mama. Membuatku lega karena artinya mereka akan menjauhi bed.

Sementara telingaku samar-samar menangkap obrolan mereka, pandanganku menerawang keluar jendela kamar. Aku memikirkan Ares. Cowok itu punya kebiasaan baru sekarang- manja dan menghilang.

"Hasil CT scan nya keluar bentar lagi, Mas. Pukul 3." Suara Mama kembali masuk pada pendengaranku namun tak cukup kuat untuk menyingkirkan Ares.

Asal kalian tau, pagi tadi setelah mengantar ke ruangan untuk CT scan, Ares tidak terlihat lagi. Tidak ada di toilet, tidak juga di sofa tempat dia tidur semalam, bahkan handphone nya tidak bisa dihubungi. Baru ketika pukul 11, ada pesan masuk, bilang bahwa dia ada urusan mendadak dan akan datang sore ini.

Bagus sekali. Sampai detik ini aku belum tau 'urusan mendadak' apa yang bisa membuat orang bahkan lupa untuk pamitan? Terlalu sibuk untuk sekadar memberi kabar?

"Jadi meeting kemarin gimana?" Gelombang suara Om Herman merambat cepat tanpa bisa kutolak.

"Sukses, Mas. Client cukup puas dan langsung tanda tangan kontrak."

Aku hampir yakin Mama mengucapkannya dengan wajah berseri-seri dan semangat. Menyiratkan gelontoran emosi yang selama hidupku tidak pernah ditunjukkan di depan Papa. Karena sesungguhnya Papa hanya ingin Mama menjadi ibu rumah tangga sejati- mengurus rumah, membesarkan anak, melayani suami- tanpa paham bahwa hasrat Mama menjadi wanita karir itu besar sekali.

"Syukurlah, Re. Kamu memang selalu bisa ambil hati client," kata Om Herman tak kalah senangnya.

Mungkin ini yang tidak ada pada diri Papa- memahami keinginan terdalam pada diri istrinya. Sementara aku tau betul, Om Herman selalu mendukung setiap proyek yang akan dihadapi Mama, apa pun hasilnya.

Meski perlu kuakui wajah Mama semakin terlihat tua hanya dalam kurun waktu setahun saja. Guratan lelah yang tak ingin kulihat selalu tampak ketika dirinya membuka pintu depan. Namun akan berganti sorot antusias begitu bercerita bahwa proyek yang diperebutkan telah berada di tangannya.

Pintu kembali terbuka. Aku tak bisa menebak siapa yang datang, tak mau juga repot-repot membalikkan badan. Hanya menunggu, begitu suara si pembuka pintu berucap, "Permisi. Ibu silahkan temui Dokter Arif. Hasil CT scan nya sudah dapat diambil." Itu suster.

Kemudian tiga pasang kaki beriringan meninggalkan ruangan, meninggalkan pintu yang tertutup perlahan.

Aku mengubah posisi menjadi telentang, menatap plafon putih bersih yang sangat terawat. Handphone yang ditunggu-tunggu berdering malah tetap bergeming. Padahal pesan terakhir yang aku kirim adalah menanyakan jam berapa tepatnya Ares datang. Tapi sama sekali belum ada balasan.

Bosan sekali rasanya ketika lagi-lagi harus memeriksa pintu yang terbuka. Aku berharap Ares, sungguh. Sayang sekali sebuah kepala yang menyembul adalah milik manusia yang tak ingin kutemui.

"Hai, Nad." Aldo dengan seragam sekolah dan rambut yang agak berantakan mengintip dari celah pintu.

Aku ingin pura-pura tidur agar tidak perlu ada interaksi apapun. Tapi sialnya mataku malah terlanjur berserobok dengannya.

"Boleh saya masuk?" katanya, seraya membuka pintu lebih lebar.

"Sebelah kaki kamu udah masuk ruangan. Memangnya masih bisa saya usir?"

Setengah ucapanku murni mengandung sarkasme, tapi Aldo sepenuhnya menganggap itu lelucon. Terbukti begitu dia terkekeh dan berjalan makin masuk.

"Saya bawain makanan kesukaan kamu." Ditunjukkannya kantong kresek putih yang didalamnya terdapat kotak kardus.

Kedua alisku terangkat, menunggu penjelasan.

"Roti bakar rasa kacang." Dia memberitahu dengan bangga. Lantas menambahkan, "Saya beli di Pak Jajang. Penjual roti bakar favorit kamu itu. Masih ingat?"

Aku menahan diri untuk tidak mengangguk. Tentu saja aku ingat. Bagaimana tidak? Dulu, hampir tiga hari sekali Aldo mengantarku ke sana.

"Saya tau kamu masih ingat," katanya seolah bisa membaca pikiranku. "Mau disimpen dimana?"

"Disitu aja." Aku melirik cupboard. "Makasih."

Aldo mengangguk senang.

"Jangan lupa dimakan, ya. Ini roti terakhir loh, lagi laris banget soalnya." Ditaruhnya bungkusan itu di sebelah parsel buah pemberian Om Herman. Dia menyimpan ranselnya di sofa, kemudian terkunci dengan menatap bunga pemberian Pandu. "Dari siapa?" tanyanya saat berbalik.

"Bukan urusan kamu." Aku mendengus.

Lagi pula, sepertinya bukan hal baik jika memberitahu bahwa si pemberi adalah adik kelas kepercayaan nya selama ini.

"Maaf. Saya lupa semua sudah berubah," ucapnya dengan senyum kurang ajar.

TBC...

Up selanjutnya hari sabtu lohh, jangan sampe ketinggalan!!

Halaman Terakhir [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang