"S-siang kembali, Ares."
Seperti yang sudah-sudah, aku akan menahan napas dengan jantung bertalu-talu selagi Ares mendekat.
"Nakal." Ujarnya saat tiba di pinggir bed. Terhitung sudah tiga kali dia mengatakan hal itu.
Pertama, saat aku meledakkan lab kimia dan nyaris kehabisan napas. Kedua, saat acara kemah tahunan dan aku menjatuhkan diri ke jurang. Dan ketiga....sekarang.
"Setelah ini apalagi?"
Aku nyengir, " Maaf, tadi murni gak hati-hati."
Ares menarik kursi, duduk, dan menatapku. "Kalau aku tinggalin tiga hari aja udah begini, gimana kalau aku tinggalin selama-lamanya?"
"Eh?" Aku mengerjap-ngerjap.
Dia terkekeh, "Bercanda kok."
"Kelewatan."
"Mana yang sakit?"
Aku menggeleng. Tak ada rasa sakit yang begitu kentara, apalagi dengan hadirnya Ares.
Hening.
Ares melipat tangannya di bed, kemudian merebahkan kepala. Aku mengernyit menyadari tingkah anehnya.
"Pinjem," Tiba-tiba saja Ares menggenggam tanganku lalu diletakkan di puncak kepalanya, "Elus-elus."
Apa?
Ares terbatuk. Menyuruhku segera melakukan apa yang diperintahkannya lewat isyarat mata. Dan memang wajahnya agak....pucat (?)
"Kamu sakit?" tanyaku, mulai mengelus lembut kepalanya.
Dia memejamkan mata, menggeleng.
"Terus kenapa pucat banget?"
"Shhtttt!" Dia mendesis.
Akhirnya kupilih bungkam. Sudut bibir Ares perlahan naik, pertanda nyaman pada gerakan tangan ku.
Lima menit berselang hanya deru napas pelan Ares yang terdengar. Matanya masih terpejam, hanya saja tanganku sudah beralih digenggamnya erat.
"Ares?"
"Hm."
"Tidur?"
"Enggak."
Bukan sekali dua kali Ares bersikap manja seperti ini. Melainkan berulang-ulang, tanpa tau konsekuensi berupa perasaan menyiksa yang aku dapatkan. Tanpa sadar menaruh harapan yang diiringi bayangan kekecewaan.
"Ares, aku nggak tahu apa ini normal buat sebuah persahabatan."
Seketika Ares menegak, "Maaf." Lantas dilepasnya tanganku perlahan.
Kenapa? Apa susahnya melanjutkan dan membangun sebuah komitmen?
"Kamu mau makan?" Tanyanya. Yang aku yakin betul, itu sebuah upaya pengalihan perhatian.
Aku melepas tatapan, kemudian berusaha duduk.
"Rebahan aja."
"Nggak apa-apa, lagian pegel juga." Ujarku sambil menerima makanan steril yang Ares serahkan.
Kepalaku langsung berdenyut saat sempurna duduk. Ares menatapku penasaran, tanpa suara seolah ingin mengatakan 'are you ok?'. Aku mengangguk, mulai fokus pada menu di atas piring stainless.
Lagi lagi hening menyeruak. Suara blangkar yang melintas di depan pintu menjadi satu-satunya bising yang memecah hening. Dari sudut mata, bisa kulihat Ares berjalan menuju sofa, lalu rebahan. Dia terlihat lelah sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halaman Terakhir [Telah Terbit]
RomanceCover by @achielll Sebagian part dihapus untuk keperluan penerbitan. __________________ Ares adalah temanku dan aku mencintainya! Yang bisa kulakukan selama ini hanyalah menulis kalimat 'Aku mencintaimu, Ares.' di diary. Jika kalimat itu sudah men...