Keberanian tidak akan datang dengan sendirinya. Jika kau tidak memanggilnya
~¤•¤~
Ainsley menuruni tangga tua itu secara perlahan tapi pasti. Setiap langkah kakinya, menimbulkan bunyi derit pada anak tangga. Masih dengan memegang senter, Si Felton kecil berusaha untuk tetap tenang meskipun tengah dilanda ketakutan. Semakin ke bawah, suasana menjadi lebih gelap dan dingin. Tubuh Ainsley gemetaran, gadis itu ketakutan.
Pada akhirnya Ainsley berhasil menginjakkan kaki di anak tangga terakhir. Lantas dia mengarahkan senternya ke sekeliling ruangan, mencoba mencari sesuatu yang berguna. Ternyata oh ternyata ... Ainsley berada di suatu ruangan yang sudah terbengkalai.
Tanpa melupakan tujuan utamannya, Ainsley berusaha mencari benda yang pas agar dapat mengeluarkannya dari ruangan penuh sarang laba-laba. Setelah lima menit lamanya mencari, Si Felton Kecil tak kunjung mendapatkan benda yang sesuai. Melainkan sebuah pecahan batu besar.
Ainsley menghembuskan napas kuat-kuat lalu mengarahkan senternya tepat ke sebelah bongkahan batu. Bagaikan mendapatkan kartu undian, ternyata di sisi batu ... terdapat sebuah pintu tua.
Ainsley dengan segala keberaniannya yang tersisa, berusaha membuka pintu yang tidak terkunci. Lantas ia pun membelalakan mata, mendapati lorong panjang yang suram. Ainsley memilih untuk berjalan menelusuri lorong sembari mengarahkan senter ke depan. Mulutnya komat-kamit mengucapkan doa. Sungguh malang sekali nasibnya.
Pada akhirnya tibalah ia di ujung lorong, cahaya menyilaukan bermunculan ketika langkahnya semakin ke depan. Ainsley dapat memastikan, cahaya itu bukan berasal dari senternya. Mengingat cahaya senter pada umumnya tidak berwarna kuning remang, Ainsley pun menyimpulkan bahwa dia berhasil menemukan jalan keluar.
"Aku selamat! Aku hidup!" pekik Ainsley girang layaknya orang terdampar yang selamat dari pulau tak berpenghuni.
Ainsley bergegas berlari menuju cahaya kuning itu. Alih-alih jalan keluar yang ia temukan, justru sebuah ruangan penuh lukisan. Cahaya remang berasal dari lampu Chandelier dengan lilin khas kerajaan yang di letakan di atas langit-langit. Ditambah walpaper berkelas kian mengeropos menghiasi ruangan nan megah.
Pupuslah harapannya untuk menemukan jalan keluar. Tetapi, Ainsley tidak putus asa. Dia pun mencoba berpikir positif agar keluar dengan selamat. Dilihatnya lukisan-lukisan itu satu per satu. Lukisan pertama, terdapat satu pria tua berambut putih dengan wajah karismatik. Sosoknya tidak menunjukan senyuman melainkan mata tajam, seakan-akan memelototi Ainsley garang. Tertulis di sana sebuah nama wali kota pertama Shea 'Antonius Wallace, 1765'.
Berbeda dengan lukisan kedua, seorang wanita muda berumur tiga puluh tahun, berambut kemerahan, tersenyum anggun menatap ke arah samping sembari membawa payung berenda putih. Tertulis nama wali kota kedua Shea 'Angelica Baltimore, 1780'.
"Baltimore? Apakah wali kota sekarang keturunan langsung dari wali kota kedua?" gumam Ainsley yang teringat nama wali kota sekarang.
Ingin sekali rasanya Ainsley memandangi satu per satu lukisan antik tersebut, hanya saja ini terlalu banyak. Kalau dihitung-hitung bisa mencapai enam ratus lukisan Wali Kota Shea di sana. Ainsley tidak sengaja mendapati lukisan wali kota ke-532 yang pernah ia temui di koridor Mansion Dirgory kemarin.
"Pffttt." Ainsley menahan tawa. Entah kenapa ia selalu tertawa setelah melihatnya. Tertulis nama wali kota 'Albert Dirgory, 1955' di bawahnya. Kalau dilihat-lihat, seluruh lukisan wali kota memiliki nama awalan A. Sungguh kebetulan yang menarik.
Ainsley mengecek seluruh papan nama lukisan di tempat itu dengan cepat hanya untuk memperhatikan nama awalnya saja. "Astaga ... yang benar saja! Semua namanya berawalan huruf A!"
Hingga pada akhirnya, Ainsley mendapati papan nama lukisan wali kota ke-489. Bertuliskan 'Davendra van Lichfield, 1899'. Sorot matanya berpindah ke wajah yang dilukiskan. Seorang pria muda berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Rambutnya bewarna hitam pekat berbeda dengan wali kota lainnya yang pirang. Pria itu terlihat jauh lebih berkharisma dengan senyuman samar, menatap ke depan. Satu kata untuk semua itu, Tampan. Mungkin, beliau pernah dinobatkan sebagai wali kota tertampan.
"Marganya dari Keluarga Belanda, tetapi nama depannya menggunakan nama orang Indonesia." Ainsley bergumam pelan. Mata berwarna emeraldnya mengingatkan Ainsley pada seseorang. "Aku seperti pernah melihatnya tapi dimana ya?"
Ainsley tersadar dari lamunannya. Ia harus bergegas mencari jalan keluar, bukannya melihat-lihat lukisan. Ainsley menyudahinya seraya berusaha fokus pada tujuan utama, yaitu mencari jalan keluar.
Pada akhirnya, seperti dugaan sebelumnya ... Ainsley tidak menemukan apa-apa. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia memilih menyerah. Ainsley duduk di pojokan ruangan seraya membenamkan wajah di lutut. Merasa ada seseorang yang mengintainya, Ainsley pun menepis pikiran itu jauh-jauh. Mungkin saja hanya sebuah bayangan gelap di dalam pikirannya akan ketakutan.
Ainsley sibuk membenamkan wajah di dalam sana untuk mencari ketenangan. Samar-samar dia mendengar suara bisikan. Awalnya ia tepis semua pikiran itu. Namun, suara lembut di antara kesunyian terjadi berulang kali, membuat jantung Ainsley berdetak jauh lebih cepat. "Tidak mungkinkan, kalau ada orang selain aku di tempat ini?" ucap Ainsley dalam hati.
"Hey ... dia tertidur." Suara bisikan itu terdengar seperti bisikan pria tua.
Ainsley masih mempertahankan posisi memeluk lutut.
"Gadis yang malang." Kini bisikannya terdengar seperti suara wanita anggun yang menawan.
"Malang apanya? Berani sekali dia menertawakan kepalaku." Bisik pria tua lainnya, sedikit cempreng.
"Diam Albert! Kau selalu saja membuat keributan!"
"Sstt ... pelankan suara kalian! Nanti gadis itu terbangun." Wanita tadi kembali bergumam.
"Sepertinya tidak, lihat dia sedikit bergerak!"
"Bodoh!" Ainsley mengutuki dirinya sendiri karena bergerak.
"Benar aku melihatnya tadi." ucap pria lainnya. "Sepertinya kita harus pura-pura diam lagi."
"Berisik! Anton! kembalikan payungku!"
Ainsley bergerak perlahan mengambil senternya. Tanpa aba-aba, dia segera bangun seraya mengacungkan senter pada suara-suara bisikan aneh tepat di hadapannya.
"Keluar kau pengintai!" Ainsley memekik tegas, mengecek sekeliling.
Bukannya penjahat atau pengintai yang ia lihat, melainkan lukisan wali kota kedua---Angelica Baltimore--- menatapnya terkejut.
Ainsley membelalakan mata, mendapati Nyonya Baltimore sudab bergerak setengah keluar dari pigura sembari menggenggam payungnya yang ditarik oleh wali kota pertama, Antonius Wallace.
Tuan wali kota pertama juga sama terkejutnya. Ainsley mampu melihatnya dengan jelas ... mulut pria itu bergerak, hendak mengatakan sesuatu. "Kita ketahuan."
"Aaaaaaa!" teriak Ainsley.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ainsley Tricks: The Mysterious Puzzle
FantasyAinsley Felton, gadis manis yang tidak pernah percaya pada keajaiban. Hidupnya berubah terbalik ketika mengunjungi kakeknya di Kota Shea. Kota misterius yang tidak pernah terlihat di peta maupun satelit. Awalnya, liburan akhir tahun di Kota Shea ada...