Part-8

2.4K 241 40
                                    

Sudah satu minggu aku menyibukanku dengan kegiatanku sendiri, banyak hal yang aku lakukan sendiri. Pada kenyataannya aku melupakan rutinitasku berkumpul dengan sahabat-sahabatku. Ini perihal menjatuhkan hati kemudian jatuh, rasanya aku tidak sanggup menghadapi kenyataan.

Dan kali ini aku memahami, bahwa dalam mencintai hanya ada dua pilihan menyatakan atau membiarkan waktu untuk membuatnya hilang atau di ambil orang lain. Bagiku cinta lebih melelahkan daripada memahami biologi, kimia hingga fisika dan matematika.

Aku menghembuskan nafasku kasar dan kemudian bangkit berdiri memasukan buku ke dalam tas, aku baru saja selesai kelas. Aku melihat jam tanganku, ternyata pukul 4 sore berarti kurang lebih sudah 5 jam aku diruangan ini. Aku segera keluar dari ruangan ini, sebelum kepalaku benar-benar penat disini.

"Devennn..". Teriakkan itu aku hafal betul itu milik siapa.

"Kemana aja lo?". Tanya charisa dengan nada suara naik satu oktav dari biasanya. "Banyak tugas cha..".

"Lo gak bisa bohong ya sama gue.. meskipun lo gak sepenuhnya bohong". Charisa menatapku tajam, ia melangkah maju mendekat ke arahku. Aku mendorong dahinya agar menjauh dariku.

"Gue gak bohong.. gue lagi sibuk. Kalo lo gak percaya lo tanya temen-temen gue yang lainnya aja".

"Gimana gue mau percaya dengan alasan lo, sedangkan lo nunjukin sikap yang kayak baru patah hati tau gak?". Perkataan charisa benar-benar mengenai ulu hatiku, rasanya sesak sekali. Namun sebisa mungkin aku tidak akan menunjukannya pada charisa. "Patah hati jidat lo tuh". Elakku dan menyentil jidatnya. Dering ponsel menjadi pelerai dalam perdebatanku dengan charisa, aku bersyukur karena ponsel charisa menjadi penyelamatku dari introgasi charisa.

Aku tersenyum puas ketika mendengar bahwa charisa akan segera pergi, dan senyumku langsung memudar ketika tatapan charisa kembali ke arahku. "Lo beruntung sekarang, tapi liat aja nanti. Gue cabut dulu ada kepentingan". Ucapnya kemudian berlari kecil terburu-buru.

"Yes.. selamet gue dari introgasi wartawan satu itu". Ucapku pelan dan mengusap dadaku berulang kali. Aku kembali melanjutkan perjalanan, aku memutuskan untuk ke taman. Rasanya udara sore hari disana cukup baik untuk merefresh kepalaku yang sedang sedikit kacau.

Tubuhku menegang, ketika aku melihat sosok yang aku kenal disana. Aku berniat segera pergi dari tempat itu sebelum ia tau, namun sayang nasib baik tak berpihak padaku ketika aku malah menginjak botol kosong sehingga menimbulkan bunyi.

"Deven". Ucapnya cukup pelan, tapi suaranya masih bisa ku dengar. Aku mencoba memberanikan diri untuk melihatnya, meskipun pada akhirnya aku harus jatuh kembali.

"Gu.. gue pergi dulu ya". Ucapku, kenapa juga aku harus tergagap seperti ini. Aku memutar tubuhku namun ia tiba-tiba di depanku.

"Kenapa kamu ngehindar dari aku?". Aku sedikit terperangah dengan ucapannya yang lembut bahkan sangat dengan ucapan aku-kamu yang benar-benar menggetarkan hatiku.

"Kamu ngehindar dari aku karena perasaan kamu udah berubahkan?". Ia berucap dengan nada bergetar, aku tak bisa melihat bagaimana ekspresinya karena posisiku saat ini adalah membelakanginya.

"Karena apa yang kamu rasain ke aku udah bukan lagi perasaan biasa, perasaan kamu udah berubah. Yang kamu rasain udah bukan lagi hanya ke sekedar teman". Tegasnya, tubuhku benar-benat terasa kaku. Untuk melangkahpun aku benar-benar tak mampu. Apa yang ia katakan benar, aku tak dapat memungkiri itu sama sekali. Perasaanku memang telah berubah, hatiku bukan lagi hanya menempatkan posisinya hanya sebagai teman.

"Kalo emang apa yang kamu rasakan ke aku udah berubah, kenapa kamu gak memperjuangkan itu? Dan kenapa kamu malah diem disaat aku dimiliki oleh orang lain dev..". Aku memutar tubuku ketika aku mendengar ia terisak, aku sama sekali tak berpengalaman dalam hal menghadapi situasi seperti ini.

Music is LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang