Part-22

2.2K 224 84
                                    

Aku baru saja selesai mengerjakan tugas-tugasku dan kini aku tengah menikmati suasana malam di teras rumah menghadap halaman. Di taman ada bunga dan lampu, pemandangan itu cukup membuatku merasa tenang. Udara malam ini cukup dingin, aku menegak kopi yang dibuatkan oleh kakak ku tadi. Menyandarkan punggung, setengah rebahan. Beberapa bulan ini hati ku masih saja enggan menerima yang baru dan melupakan yang telah berlalu. Untukku untuk menjalin kembali sebuah hubungan bukan lah yang lagi mudah, semuanya kian menjadi rumit hanya karena aku tak berani melanjutkan langkah ku, meskipun hidup ku harus tetap berjalan tapi yang aku rasakan hanyalah aku merasa sedang berjalan di tempat.

Kalian tahu? Salah satu hal paling melelahkan di dunia ini, saat kita ingin melepaskan sesuatu. Namun, ia tetap mengejar kita. Meski kita telah menjauh tapi masih saja terasa dekat. Saat kita berharap mampu melupakan, di sisi lain kita tetap harus bertahan dengan segala hal yang menjaga 'dia' di dalam ingatan. Seperti itukah kenangan?

"Dek". Laki-laki dengan wajah dan tubuh yang masih saja terlihat kuat itu memanggilku, aku tersenyum ke arah nya dan ia kemudian terduduk di kursi lainnya.

"Gimana pah?".

"Kamu itu kalo lagi ada masalah ya cerita.. jangan di pendem sendiri gitu". Katanya.

Deven mengalihkan pandangannya ke arah taman, ia menatap dengan tatapan yang begitu dalam. Seolah ia tengah menyimpan jutaan luka. Tidak ada kalimat apa pun yang mampu ia keluarkan, karena baginya bersama keluarga semua nya tidak akan bisa di tutupi. Tawa seceria apa pun, tangis sesedih apa pun, mereka akan selalu tahu yang sebenarnya, itu lah yang ada di pikiran deven.

"Papah gak pernah larang adek untuk melakukan apa pun, apa pun yang adek lakukan papah selalu dukung. Kamu harus menyadari, berpura-pura baik-baik saja tidak akan membuat hati mu menjadi benar baik. Patah hati memang harus dinikmati, biarkan saja sampai benar lukanya sembuh. Rasa sakit akan hilang ketika kita membiarkan kebahagiaan itu kembali tumbuh dalam diri kita, bukan malah membentengi diri kita dengan berbagai alasan patah hati yang dirasakan..". Katanya, tanpa menatap ku. Kita seolah berbicara dengan hati kita. Aku menyukai ketika papah seperti ini, melalui setiap katanya ia mampu membuat jiwa ku kembali terang dan membuat gelisahku menjadi tenang. Aku menyutujui maksudnya dan aku akan berusaha untuk itu.

"Sudah lupakan dia". Timpalnya dengan begitu tajam, bahkan nada bicaranya kali ini tidak seperti biasanya.

"Pah..". Sanggah ku mencoba membela.

"Untuk apa kamu membelanya?". Ucapnya seolah menyadari apa yang akan aku katakan. "Pah". Nada bicaraku meninggi, dan sesaat kemudian aku menyesal telah bersikap seperti itu.

"Pah.. adek cuma gak mau papah menyalahkan dia, ini salah adek aja yang belum terbiasa dengan hal seperti ini pah..". Ucapku selembut mungkin karena tak ingin memperkeruh suasana.

Satu hal yang membuat emosiku meredam, karena papah mungkin mencoba untuk membuatku bangkit dan menunjukan kasih sayangnya. Tapi bukan seperti ini caranya.

"Ya sudah, papah gak mau lihat kamu merenung kayak tadi. Kalo sudah selesai tugasnya langsung istirahat. Papah ke dalam dulu..". Ucapnya dan bangkit berdiri, aku hanya menatap kepergiannya dan kemudian merenung atas segala nasehat papahnya.

Aku kembali meneguk kopiku sebelum membereskan semua berkas dan mematikan laptop ku. Sekarang aku cara melupakan seseorang itu adalah dengan cara membuat diri kita menjadi orang baru.

***

14.35

Aku membereskan barang-barang pribadiku, hari ini jadwalku adalah shooting beberapa vidio baru. Charisa dan yang lainnya juga akan membuat cover lagu mereka di studio, jadi kemungkinan kesibukan ku masih akan berlanjut hingga malam.

Music is LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang