***
Lisa benar-benar pulang hari itu, diantar Hyunbin namun mereka tiba tepat dipukul 12 tengah malam. Lisa sempat tertidur setelah mendapatkan sebuah suntikan obat nyeri dari Hyunbin. Gadis itu dapat bertahan dari sakitnya lubang peluru karena beberapa suntikan obat nyeri. Sudah tidak terhitung berapa suntikan obat nyeri yang pernah Lisa terima selama ini, gadis itu selalu membutuhkan suntikan itu setiap kali ia terluka. Hampir seperti kecanduan, karena setiap kali terluka, Lisa harus mendapatkan suntikan itu setidaknya dua kali dalam sehari. Atau gadis itu tidak dapat menahan rasa sakitnya di depan Jiyong dan orang lain.
Hyunbin tidak tahu sejak kapan, namun ketika ia menurunkan Lisa di depan lobby utama gedung apartement ayahnya, mata Hyunbin menangkap sosok Jiyong yang sepertinya sedang menunggu.
Malam ini, Lisa datang dengan sebuah celana jeans, kaos berlengan panjang dan sebuah jaket kulit hitam yang terlihat sedikit kebesaran. Hyunbin mengantar gadis itu dengan sebuah motor sport hitam karena Hyunbin tidak ingin memutari jalan tol hanya untuk mengantar Lisa yang terlalu malas pulang sendirian.
"Masuklah," ucap Hyunbin sembari melirik pria yang sedang memperhatikan mereka dari jauh, namun sepertinya Lisa tidak melihat Jiyong disana. Gadis itu hanya melompat turun dari motor sembari melepaskan helmnya.
Lisa menggeleng, mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Hyunbin seakan tengah memberi tahu kalau ia tidak ingin pulang.
"Kalau kau tidak ingin masuk kerumah appamu, kau yang menyetir," suruh Hyunbin, pria itu membuka kaca helmnya, namun tidak melepaskan helmnya.
"Aku sakit," jawab Lisa sembari mengusap bahunya sendiri. "Ingin menyentuhnya?"
"Kalau begitu naiklah," suruh Hyunbin yang merasa kalau Lisa tengah sengaja membuatnya jadi kambing hitam– agar Jiyong marah dan melupakannya.
"Tidak ingin masuk juga?"
"Kau gila?"
"Oppa bisa tidur di kamarku dan keluar pagi-pagi sekali, saat semua orang masih tidur," tawar Lisa, bahkan Jiyong tidak pernah di tawari hal itu. Selama bertahun-tahun mereka berkencan, Jiyong tidak pernah menginap di rumah orangtua Lisa.
"Masuklah..." ucap Hyunbin, ia tahu kalau itu tidak mungkin dan Lisa hanya asal bicara. "Atau haruskah kita kembali? Telpon appamu, katakan kalau kau tidak jadi pulang,"
"Tunggu aku disini? Aku akan naik dan memberitahunya kalau aku-"
"Pergilah, naik lift dan pulanglah, kau tidak tinggal sendirian, jangan membuat appamu khawatir," suruh Hyunbin dan Lisa hanya menghela nafasnya kemudian mengangguk. "Aku pergi sekarang?"
"Aku benar-benar tidak ingin naik... Bagaimana kalau aku bertemu Jiyong oppa? Biasanya dia pulang di jam-jam seperti ini," ucap Lisa yang justru memegang lengan Hyunbin. "Dia pasti akan sangat sangat sangat marah, iya kan?"
"Kau hanya perlu minta maaf kalau dia marah, dia pasti akan memaafkanmu,"
"Lalu kalau dia memaafkanku, bagaimana denganmu? Aku harus meninggalkanmu kalau dia memaafkanku, apa kau bisa? Hidup tanpaku? Kita berdua tidak boleh berpisah... Aku akan melepaskan segalanya untukmu, jangan khawatir," jawab Lisa sembari menepuk-nepuk pelan bahu Hyunbin.
"Wah... Saat pertama kali kau mengatakan ini beberapa hari lalu, ku pikir ucapanmu hanya sebuah kesalahan,"
"Yang pertama adalah kesalahan, dan yang berikutnya adalah kebiasaan, selalu begitu..."
"Itu bukan sesuatu yang perlu di banggakan, cepatlah masuk... Aku sudah bosan disini," keluh Hyunbin yang kemudian membuat Lisa berdecak dan meremas helmnya. Gadis itu memukul pelan lengan Hyunbin dengan helmnya kemudian berbalik dan melangkah masuk ke dalam gedung apartementnya.
"Kau menyebalkan oppa!" keluh Lisa setengah berteriak sebelum pintu utama gedung itu menelannya. Sementara Hyunbin hanya menurunkan kembali kaca helmnya dan melaju pergi.
Lalu bagaimana dengan Jiyong? Pria itu merasa di hianati. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Lisa dengan Hyunbin, namun rasanya pembicaraan itu bukanlah mengenai misi mereka. Pembicaraan itu jauh lebih pribadi dibanding alasan Lisa mencampakannya.
"Tunggu aku," ucap Jiyong yang menahan pintu lift agar tidak tertutup. Lisa berada di dalam lift itu, sendirian, ketika Jiyong masuk. Keduanya berada di dalam lift yang sama namun Lisa menghela nafasnya, gadis itu ingin meninggalkan lift itu, namun Jiyong menahan tangan Lisa agar gadis itu tetap bersamanya di dalam lift.
"Tidak ada yang ingin ku bicarakan denganmu," ucap Lisa yang kemudian menarik tangannya dari pegangan Jiyong. Namun Jiyong menutup pintu liftnya, pria itu tidak membiarkan Lisa keluar dari sana dengan mudah.
"Aku hanya punya dua pertanyaan," ucap Jiyong yang kemudian membuat Lisa mengalah. "Aku akan memutuskan untuk melepaskanmu atau tidak setelah mendengar jawabanmu,"
"Oppa tidak punya kuasa untuk itu. Aku yang pergi darimu, aku yang melarikan diri," sinis Lisa. Gadis itu selalu begitu, gadis itu selalu mengatkan hal-hal sinis setiap kali mereka bertengkar hingga Jiyong tidak dapat melakukan apapun selain menerimanya. "Tapi mari kita dengar dulu apa pertanyaanmu,"
"Apa yang kau lakukan selama ini? Membuktikan kalau kau tidak bersalah atau mencuri? Tutupnya tiga panti asuhan di Busan, di penjaranya kepala kepolisian, dan judi tinju bulan lalu, kau terlibat dalam semua kasus itu,"
"Siapa yang mengatakan omong kosong itu padamu?"
"Apa itu penting sekarang? Kau mencuri dari tiga panti asuhan yang ternyata organisasi perdagangan organ manusia, kau mencuri di kantor polisi dan memenjarakan kepala kepolisiannya, dan kau mencuri di rumah judi. Kau pikir kau Robin Hood? Walaupun mereka memang pantas mendapatkannya, mencuri tetaplah sebuah kejahatan!"
"Aku tidak mencuri," jawab Jiyong yang selama beberapa detik sempat merasa lega karena mendengarnya. "Apa kau tidak tahu dimana bedanya pencuri dan penipu? Ini mencuri," ucap Lisa sembari menarik jaket Jiyong dan mengambil dompet pria itu dari sakunya. Gerakannya cukup cepat, secepat degup jantung Jiyong, sampai Jiyong tidak sempat menahannya. "Apa kau berfikir aku mencampakanmu untuk melindungimu? Apa itu pertanyaan keduamu?" tanya Lisa sembari mengembalikan dompet Jiyong ketempatnya.
Jiyong terdiam, rasanya seperti Lisa tengah membaca pikirannya sekarang.
"Sepertinya aku benar, pertanyaan keduamu adalah alasanku meninggalkanmu. Untuk melindungimu, atau bukan, iya kan?" tutur Lisa yang kemudian menghela nafasnya. "Kalau kau berfikir aku meninggalkanmu untuk melindungimu, berarti aku sudah berhasil menipumu. Kau merasa sangat mengenalku sampai berfikir aku tidak mungkin melakukannya? Hidup berjalan dan manusia berubah. Cinta pun berubah. Kita sudah bertahun-tahun tidak bertemu, bukankah justru aneh kalau cintamu tidak berubah?"
"Kenapa kau menipuku? Aku tidak melakukan kesalahan apapun,"
"Aku harus masuk ke pesta itu dan membuatmu berbohong pada orang-orang yang mencariku," jawab Lisa. "Dan bukankah tadi kau benar-benar melakukannya? Haruskah aku berterimakasih? Aku tidak memintamu untuk mempercayaiku,"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Out
Fiksi PenggemarMereka kembali bertemu setelah sempat terpisah sejauh samudera. Malam-malam nostalgia terasa seperti mimpi indah namun tetap berakhir sebagai mimpi buruk, tapi tidak ada jalan keluar. Segalanya berakhir tanpa sebuah epilog.