***
Lisa membuka matanya, dan ia menemukan Jiyong masih terlelap di sebelahnya. Lisa tidak pernah mengira ia akan bertunangan dengan seorang pria sehebat Jiyong. Kalau saja ia tidak pergi ke Irak, mungkin mereka sudah menikah dan hidup bahagia sekarang. Mungkin mereka akan tinggal di sebuah rumah yang hangat dengan seorang anak kecil yang menggemaskan. Lisa tidak ingat, apa yang dulu membuatnya bersikeras ingin pergi ke Irak dan bertugas disana. Namun rasanya, saat ini ia menyesali keputusannya itu.
"Kenapa kau tidak tidur?" tanya Jiyong tanpa membuka matanya. "Masih sakit?"
"Ku kira oppa sudah tidur," jawab Lisa yang kemudian memeluk erat tubuh Jiyong. "Lenganku sudah tidak sakit, tapi hatiku sakit. Bukan sakit karena terluka tadi, ini sama sekali tidak ada hubungannya. Aku hanya menyesali keputusanku dulu. Kalau saja aku tidak pergi, semua ini tidak akan terjadi. Eomma tidak akan pergi dan oppa tidak akan khawatir seperti sekarang. Aku ingin meyakinkanmu kalau aku akan baik-baik saja tapi aku tidak tahu bagaimana caranya meyakinkanmu. Semua yang ku katakan hanya akan terdengar seperti sebuah cerita biasa. Aku tidak punya bukti dan tidak bisa mengatakan padamu siapa yang mengejarku. Sejauh ini tidak ada yang mempercayaiku kalau bukan aku pemberontaknya, tidak ada saksi mata karena semuanya tewas dan tidak ada bukti karena semuanya hancur. Sampai detik ini sebenarnya aku benar-benar ingin menyerah. Aku tidak ingin mati, aku terlalu takut untuk itu. Aku hanya ingin menghilang, seperti debu yang tertiup angin. Aku ingin menghilang ketempat yang aku sendiri tidak tahu dimana itu,"
"Apa ada yang bisa ku lakukan untukmu?" tanya Jiyong yang kemudian membuka matanya dan menoleh untuk menatap Lisa. Namun gadis itu langsung memejamkan matanya begitu ia merasakan gerakan Jiyong.
"Katakan kalau oppa mempercayaiku, kalau oppa akan mempercayaiku apapun yang nanti terjadi," pinta Lisa. Masih dengan mata terpejam, gadis itu merasakan sentuhan lembut tangan Jiyong di wajahnya. Jiyong mengusap lembut pipi Lisa dengan ibu jarinya, kemudian mengatakan kalau ia mempercayai Lisa.
"Aku akan selalu mempercayaimu, apapun yang terjadi, aku janji," ucap Jiyong yang kemudian mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir Lisa. Sebuah ciuman lembut menggantikan janji kelingking mereka.
Di pagi harinya, Jiyong membuka matanya namun tidak melihat Lisa di sebelahnya. Pria itu lantas duduk dan melihat sekeliling kamar, ia pikir Lisa sudah meninggalkannya namun ternyata gadis itu baru saja selesai mandi dan sedang memasang perban di bahunya. Jiyong kembali berbaring dan memperhatikan gadisnya duduk di meja rias, di depan cermin sembari memasang kembali perbannya seakan ia sudah sangat terbiasa memakai perban seperti itu. Terluka dan di perban memang bukan hal baru untuk Lisa.
"Tadi appaku menelponmu, jadi aku menjawabnya," ucap Lisa yang dapat melihat Jiyong dari cerminnya. "Dia menanyakan insiden kemarin dan aku bilang kalau oppa sedang menemaniku memberi keterangan di kantor Badan Intelejen. Aku tidak memberitahunya kalau aku terluka,"
"Hm..." gumam Jiyong sembari menarik kembali selimut di atas ranjang itu sampai menutupi dagunya. "Aku masih lelah, kita akan pulang sekarang?"
"Tidurlah lagi, kita bisa pulang kalau oppa sudah tidak lelah lagi, tapi ada banyak orang yang menghubungimu,"
"Appamu akan mengurus mereka semua," jawab Jiyong sembarangan. Pria itu kembali menguap kemudian memejamkan matanya.
"Eommamu juga berkali-kali menelpon dan aku menjawabnya,"
"Hm..."
"Lalu ada seorang gadis yang menelpon dan bilang kalau dia mengandung anakmu," ucap Lisa sembari menoleh untuk melihat reaksi Jiyong. Namun pria itu tidak terlihat terkejut seperti yang Lisa bayangkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Out
FanfictionMereka kembali bertemu setelah sempat terpisah sejauh samudera. Malam-malam nostalgia terasa seperti mimpi indah namun tetap berakhir sebagai mimpi buruk, tapi tidak ada jalan keluar. Segalanya berakhir tanpa sebuah epilog.