***
"Kau tidak seperti Lisa yang ku kenal," ucap Jiyong dengan sangat pelan. Pria itu duduk di atas karpet, menumpukan kepalanya pada sebelah lututnya sendiri dengan punggung yang tetap menempel pada sofa. Sementara Lisa berbaring di atas sofa itu setelah memuntahkan setengah sup instannya.
"Aku tahu, Lisa yang dulu sudah pergi dan sesekali aku juga merindukannya," balas Lisa sembari menutup matanya dengan lengan kirinya. "Tapi dia sudah tidak disini, Lisa yang oppa kenal,"
"Aku ingin membantumu, dadaku sesak melihatmu seperti ini, tapi aku rasa aku bisa mati karena mengkhawatirkanmu. Eommamu sudah pergi, kau juga tidak bisa memberitahu appamu mengenai yang sebenarnya terjadi. Mengenai pelarian itu, rumah di tepi jurang, dan orang yang ingin membunuhmu. Appamu bisa kena serangan jantung kalau dia mengetahui semua itu. Jadi aku tidak bisa memberitahunya, tapi- aku tidak ingin melihatmu berusaha sendirian begini. Aku mengenalmu, kau bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang kau inginkan... Dan aku khawatir kau akan mengorbankan hidupmu untuk sesuatu yang tidak bisa ku jelaskan pada appamu,"
"Kenapa oppa selalu mengkhawatirkan semua orang? Kau terlalu baik,"
"Karena aku bersyukur itu tidak terjadi padaku," jawab Jiyong sembari mengangkat kepalanya. "Syukurlah bukan aku yang tertembak, syukurlah bukan eommaku yang meninggal, syukurlah bukan aku yang harus hidup dalam pelarian. Aku membenci diriku sendiri karenanya. Karena ada satu sisi dari diriku yang bersyukur karena semua masalahmu tidak menimpaku. Tapi kau bukan orang asing untukku, tapi kau bukan sembarangan orang untukku, kau bukan hanya seorang kenalan dan- aku merasa sangat berengsek karena sempat bersyukur karena hidupku tidak seberat hidupmu,"
"Aku juga bersyukur karena semua ini tidak terjadi padamu," jawab Lisa tanpa bergerak sedikit pun. "Seorang yang ku kenal kehilangan hyungnya tanpa tahu apa penyebabnya. Aku bersyukur orang itu bukan oppa. Seorang yang ku kenal melihat gadisnya mati tertembak tepat di depan matanya. Aku juga bersyukur karena itu bukan oppa. Seorang yang kukenal punya sebuah peluru di dalam kepalanya, ia tidak bisa hidup tanpa obatnya dan aku juga bersyukur karena orang itu bukan oppa. Semua manusia sama, mereka bersyukur saat kejadian buruk tidak menimpa mereka. Mereka bersyukur karena beban itu duduk di pundak orang lain, bukan pundak mereka,"
"Karena itu... Karena itu aku ingin membantumu," balas Jiyong lebih cepat dari dugaan Lisa. "Aku takut, saat nanti misimu gagal dan kau mati seperti katamu, aku takut akan justru merasa bersyukur, karena itu tidak terjadi padaku. Aku takut menjadi monster yang bersyukur karena kejadian itu tidak menimpaku,"
"Oppa..."
"Hm?"
"Bisakah kau mengantarku?" pinta Lisa yang kemudian bangun dari tidurnya. Jiyong menoleh, melihat Lisa yang mulai berkeringat karena rasa sakit pada tubuhnya. "Tapi, begitu sampai disana, jangan menanyakan apapun,"
Jiyong pikir Lisa akan memintanya untuk pergi kesebuah rumah sakit. Jiyong pikir mereka akan tiba di sebuah klinik kesehatan milik Badan Intelejen atau klinik kesehatan di salah satu camp militer. Namun begitu sampai di alamat yang Lisa berikan, mereka justru tiba di pinggir kota, sebuah rumah pondok kecil dengan halaman yang cukup luas untuk memelihara ayam serta anjing. Ada dua buah kandang anjing berbahan kayu di pekarangan rumah itu, namun tidak ada anjing disana.
Jiyong memapah Lisa untuk masuk, gadis itu merasa sangat lemah sampai kakinya tidak dapat berdiri sendiri. Sudah lewat tengah malam, Jiyong khawatir tidak akan ada yang membukakan pintu untuknya namun baru dua kali mengetuk seseorang membukakan pintu. Dan orang itu adalah Lee Changsub, salah satu dokter klinik kesehatan di White Skull.
"Kau alergi obatnya?" tanya dokter Lee seraya membantu Lisa masuk ke dalam rumahnya. Dokter Lee merasa sedikit canggung dengan kehadiran Jiyong, keduanya ingin saling bertanya, namun ada seorang pasien yang hampir pingsan di sana.
Lisa di baringkan di sofa, kemudian dokter Lee meminta Jiyong untuk menggulung lengan pakaian Lisa, sementara dokter Lee mengambil beberapa obat dan peralatannya di ruangan lain.
"Lisa-ya! Apa ini? Apa kau-"
"Aku meresepkan morfin untuknya," jawab dokter Lee ketika ia melihat Jiyong terkejut dengan bekas-bekas jarum suntik di lengan Lisa. "Sejak kapan gejala alerginya? Kau bisa menelan?"
Lisa menggeleng, ia hanya tahu kalau ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Gadis itu tidak tahu kapan gejala alergi mulai muncul.
"Berapa banyak yang kau pakai?"
"Dua sampai tiga kali-"
"Dalam sehari? Ya! Kau- itu morfin! Bukan obat nyeri biasa! Kau bisa overdosis kalau melanjutkannya! Kau benar-benar gila! Apa temanmu juga melakukan hal yang sama denganmu? Dia- apa kalian pikir kalian sedang pesta narkoba?!"
"Siapa temannya? Hyunbin?" tanya Jiyong dan dokter Lee menatapnya. Seakan heran karena Jiyong ikut terlibat disana. "Dia kekasihku, gadis yang pernah ku ceritakan,"
"Kau? Berkencan dengan gadis ini?"
"Dan aku juga mengenal temannya. Dia juga terlihat sakit tadi sore,"
Lisa tertidur setelah Changsub memberinya beberapa obat anti alergi. Tubuh gadis itu tidak dapat menerima morfinnya. Tubuhnya terlalu lemah untuk dosis morfinnya. Sementara Lisa terlelap di sofa, Changsub menyuguhkan segelas kopi panas untuk Jiyong. Keduanya duduk di meja makan degang gelas masing-masing yang masih berasap.
"Jadi kau tinggal disini?" tanya Jiyong sembari memperhatikan isi gelasnya. "Bagaimana White Skull?"
"Apanya yang bagaimana? Kau belum lama pergi dari sana... tidak ada yang berubah disana, masih sama seperti ketika kau masih disana. Bagaimana kakimu?"
"Jauh lebih baik, seperti mendapat kaki baru. Apa Lisa sering datang kesini?"
"Tidak... Dia hanya kesini kalau sakit,"
"Kalian sudah lama saling kenal?"
"Sekitar satu tahun? Temanku membawanya kesini dalam keadaan yang jauh lebih parah dari ini, saat pertama kali datang dia punya banyak sekali luka dan dia hampir mati disini, tapi pemulihannya cepat. Jadi kurasa kali ini pun dia akan baik-baik saja,"
"Apa temannya itu Hyunbin?" tanya Jiyong dan dokter Lee menganggukan kepalanya. "Dia juga terlihat kesakitan tadi,"
"Ada benda asing di kepalanya, dia akan selalu kesakitan sampai benda itu di keluarkan. Sayangnya, kalau benda itu di keluarkan, dia bisa saja kehilangan ingatannya atau mati," cerita dokter Lee. "Apa kau bergabung dengan mereka sekarang?"
"Tidak," ucap Jiyong yang kemudian dengan perlahan-lahan menyesap kopinya. "Hanya kebetulan bertemu dan mengenal mereka,"
"Karena insiden terorisme di pesta beberapa waktu lalu?" tanya Changsub dan Jiyong mengangguk. "Lisa datang kesini sendirian sehari setelah insiden itu. Dia bilang obatnya tidak menghilangkan rasa sakitnya, jadi aku memberinya morfin. Aku sudah memberitahunya untuk memakai obat itu disaat-saat penting, tapi sepertinya Lisa selalu memakai obat itu setiap kali rasa sakitnya muncul,"
"Ku denger dulu kau seorang Agen. Dulu kau bekerja di Badan Intelejen bukan?" tanya Jiyong dan Changsub kembali menganggukan kepalanya. "Kenapa kau berhenti?"
"Tim ku di bubarkan,"
"Hyunbin salah satu anggota timmu?"
"Dia ketua timku,"
"Apa alasan tim kalian di bubarkan?"
"Karena kami gagal dalam misi terakhir,"
"Tewasnya anggota tim Lisa di Irak?" tanya Jiyong, lagi. Dan lagi-lagi Changsub mengangguk. "Apa gagalnya misi itu, ada hubungannya dengan Jeon Jungkook?"
"Siapa Jeon Jungkook? Kurasa nama asisten Jeon itu bukan Jeon Jungkook,"
"Siapa asisten Jeon?"
"Kepala Asisten dari Mentri Pertahanan, Asisten Jeon, Sekretaris Jeon, tuan Jeon, apapun itu istilahnya. Kami hanya perlu menangkapnya, tapi semuanya jadi kacau saat Tim Kapten Lee, tim Lisa, di kirim ke Irak dan tewas,"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Out
FanfictionMereka kembali bertemu setelah sempat terpisah sejauh samudera. Malam-malam nostalgia terasa seperti mimpi indah namun tetap berakhir sebagai mimpi buruk, tapi tidak ada jalan keluar. Segalanya berakhir tanpa sebuah epilog.