diez

7.1K 1.3K 507
                                    

"Udah, nggak papa bi, saya aja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Udah, nggak papa bi, saya aja."

Orang yang kuajak berbicara hanya mengangguk patuh dan berlalu dengan kain lap yang tersampir pada bahu lelahnya.

Kupandangi lamat-lamat seonggok panci yang sudah mulai mengepul, menyebarkan aroma sedap bubur yang tengah ku masak.

Beberapa detik terdiam seperti itu, aku baru sadar kalau sangat kurang kerjaan. Daripada memandangi panci, lebih baik aku menjelajahkan mataku memandangi rumah Kak Si— Chenle.

Astaga, bahkan interior dapurnya saja terlihat sangat mahal. Batuan marmer dengan warna krim dan garis-garis kecoklatan nampak menjadi pelapis corner dapur. Dan lebih gilanya lagi, di sini terdapat televisi dan pendingin ruangan.

Kalau begini, sih. Aku rela deh jadi pembantu keluarga Chenle. Eh nggak nggak. Bercanda.

Atensiku kembali pada panci saat isinya hendak menyembul keluar, tanda sudah mendidih.

Mematikan kompor, lantas aku mengambil mangkuk dan menuangkan beberapa sendok bubur.

"Kebanyakan gak ya?" gumamku sendiri. "Ya bodo amat lah."

Pun akhirnya aku beranjak kembali ke lantai atas, kamar Kak Sicheng berada. Namun langkahku lagi-lagi terhenti saat melewati pigura besar.

Padahal, ada beberapa pigura bahkan lukisan klasik yang terpajang untuk mengiringi langkahku menuju lantai atas. Namun tetap saja pigura besar itu yang selalu menarik perhatianku.

Berdiri tegap di belakang ibu-ibu paruh baya—yang kuyakini ibunya Chenle— dan di samping adik sepupunya, Chenle. Kak Sicheng terlihat menawan dengan senyum formal beserta jas dan kemeja.

Puas memandangi foto tersebut, aku tersenyum kecil dan kembali melangkah menuju lantai atas.

"Udah jadi, Dyr?" sambut Mark saat aku baru memasuki ruang santai. Aku hanya mengangguk sebagai tanggapan.

"Suapin ya, Dyr. Kasian si Ahcong tangannya begitu," timpalnya kemudian terkikik sendiri.

Haloo, memangnya tangan Kak Sicheng patah? Harus diamputasi? Sampai megang sendok pun nggak bisa? Toh cuma gatal-gatal doang.

Mendengus, aku menghiraukan bule gadungan itu dan meneruskan langkah menuju kamar Kak Sicheng yang pintunya terbuka.

Aku sedikit tertegun saat melihat Kak Sicheng yang tertidur sembari memeluk bantal guling dan selimut coklat-putih klasik yang menutupinya hingga leher.

Wajahnya yang sudah putih terlihat makin pucat. Bibirnya yang merah ranum juga hari ini nampak pucat.

Teringat kembali dengan tujuanku, aku menarik kursi belajar Kak Sicheng dan menempatkannya di samping ranjang. Setelahnya aku mulai menepuk lengan Kak Sicheng yang memeluk guling. Namun yang kudapatkan hanya erangan cowok itu.

clumsy | winwin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang