Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ayo cepat dong, Dyra. Kokohnya Chenle udah datang, tuh."
"Iya-iya sabar, Bu."
Menyambar handphone, liptint, dan uang. Aku langsung menjejalkannya pada clutch pink pastel yang akan kubawa lalu berlari kecil menghampiri Ibu yang tengah berdiri di ambang pintu rumah sembari memerhatikan ke luar.
Memasang flat shoes dengan warna senada dengan clutch, aku menyalimi punggung tangan ibu. Namun ketika hendak beranjak, tanganku kembali ditarik olehnya. Kudapati matanya berbinar-binar memandangku.
Astaga. Aku secantik itu, nih?
"Astagfirullah, Dyr. Andaikan Ibu belum punya bapak kamu, udah Ibu sikat itu si kokohnya Chenle. Ganteng banget dong... Pakai jas pink. Huhu."
:)
Karena nyatanya aku—satu-satunya anak perawan ibu akan kalah dengan cowok ganteng.
"Sikat aja, Bu. Lagian Kak Sicheng gak bakal mau sama yang udah alot kayak Ibu. Assalamualaikum!" Aku berlari meninggalkan Ibu sebelum ia melontarkan kata-kata mutiaranya.
"Lama banget sih, Mbak. Kasian kokohnya Lele nunggu daritadi," racau Icung yang ternyata ada di luar menemani Kak Sicheng.
"Iya bawel kamu, Cung. Udah sana masuk!"
Mata minimalis adikku sempat memicing sinis padaku sebelum kembali menatap Kak Sicheng.
"Jangan lupa bilangin ke Chenle ya, Koh. Oh iya, jagain Mbak Dyra, ya! Walaupun nyebelin gitu, dia suka beliin Icung jajanan!" Bocah kecil itu menjulurkan lidahnya padaku dan langsung berlari memasuki rumah. Kalau saja tidak ada Kak Sicheng, sudah ku kejar dan kuberi wejangan bocah itu.
"Udah dandannya?"
Suara bariton khas Kak Sicheng membuatku beralih menatapnya. Sedaritadi aku belum menatapnya.
Seperti yang dikatakan Ibu, Kak Sicheng nampak terlihat lebih menawan dengan kemeja putih dan jas pinknya.
Seperti perpaduan keren, cool, menawan, dan juga imut.
"Maaf ya aku bawa motor, aku nggak punya mobil." Jemarinya menggaruk tengkuk, wajahnya terlihat merasa bersalah.
"Ng-nggak papa, kok."
Sebisa mungkin aku menampilkan senyuman manisku, menunjukkan bahwa aku memakluminya.
Seperti biasa, Pipinya bersemu. "O-oke," balasnya.
"Aku naik, ya?" ijinku yang ditanggapi anggukan kecil darinya.
Setelah menyamankan posisi duduk, cowok berjas pink itu menyodorkan sebuah jaket bomber padaku.
"Pakai. Nanti kamu kedinginan."
Melirik bagian lenganku yang terbuka, aku menerima jaket itu dan memakainya.