Sei

221 16 13
                                    

Perlahan, Bayu membuka pintu kamarnya. Benar saja. Pagi ini semuanya berkumpul di ruang tamu, karna ini hari Minggu.

Harusnya Bayu tadi tetap berada di dalam kamar saja. Bayu tidak dapat mundur lagi, karna Ayah sudah keburu melihatnya dan memberinya tatapan tajam. Jadi, dia melangkah ke luar kamar, lalu duduk di meja makan. Dia menyomot sosis goreng dan makan dalam diam. Ayah mendengus sambil membuka koran dengan kasar setelah melihat wajah Bayu yang lebam.

"Kamu ini mau sampe kapan ngelakuin hal-hal yang nggak berguna?" serunya tanpa melepaskan matanya dari koran. Bayu terdiam sesaat. Ayah sudah mulai lagi membicarakan hal ini. Bayu hanya menggerakkan bahu, malas menjawab. Begitu tahu Bayu tak menjawab, Ayah mendelik sewot kepadanya. Banyu dan Bunda memilih diam. Sebentar lagi pasti terjadi pertengkaran, seperti yang biasa terjadi di hari Minggu pagi.

"Kamu ini kerjaannya mencoreng nama baik Ayah," kata Ayah lagi. Urat-urat di dahinya sudah mulai tampak.

"Aku nggak pernah nyebut-nyebut nama Ayah waktu berantem," jawab Bayu tak peduli. Ayah mengempaskan koran yang sedang dibacanya ke meja makan, lalu menatap Bayu galak.

"Kecuali kamu bukan anak Ayah, sana berantem sepuasnya!" serunya dengan suara menggelegar. Bayu balas menatapnya geram. Sosis yang dipegangnya sudah terasa lembek.

"Mungkin cuma kematian yang bisa buat kamu berhenti berkelahi," sambung Ayah, lalu mendesah panjang. Bayu mendengus.

"Mungkin aja," katanya, lalu kembali melahap sosisnya. Bunda menatap Bayu khawatir, lalu mengulurlan tangan untuk membelai pipinya yang biru dan bengkak. Bayu segera menepis tangan ibunya.

"Apa nggak sebaiknya kamu ke dokter aja, Bay?" tanya Bunda pelan.

"Nggak usah," tandas Ayah sebelum Bayu sempat mengeluarkan suara.

"Biar kapok." Bayu memilih tak menanggapi perkataan Ayah. Bayu tak akan kapok hanya dengan pukulan ringan di pipi. Selama beberapa menit, keheningan merayapi keluarga itu.

"Yah. Pinjem korannya," Banyu mencoba mencairkan suasana. Ayah menyodorkan koran ke tangan Banyu, sambil melirik Bayu yang tampak tidak berminat.

"Coba sekali-kali kamu baca koran. Kerjaannya denger musik aneh terus. Gimana bisa nambah pengetahuan, kamu?" sindir Ayah sinis. Baca koran. Kerja yang bagus, Banyu, pikir Bayu. Membaca koran adalah hal yang paling dibenci Bayu selain apa pun yang berhubungan dengan Ayah dan Banyu. Bukannya Bayu tidak mau membaca, tapi Bayu divonis menderita disleksia lima tahun yang lalu. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut di keluarganya, karna Bayu selalu menutupinya. Seumur hidupnya, Bayu menderita dan dia tidak tahu apa yang terjadi padanya.

Baru setelah remaja, Bayu memutuskan untuk memeriksakan diri tanpa ada yang menemani, dan dari dokter dia tahu bahwa dia ternyata penderita disleksia, penyakit gangguan saraf pada otak yang menyerang anak yang lahir prematur atau otaknya kekurangan oksigen saat baru lahir. Kemungkinan besar, penyebab kedua lah yang terjadi kepada Bayu, karna dia dan Banyu lahir pada waktunya.

Penyakit ini menyebabkan Bayu tidak dapat membaca, menulis, atau mengeja dengan benar. Walaupun disleksia yang terjadi pada Bayu tidak begitu parah, dia tumbuh menjadi anak yang emosinya labil karna terbiasa dikatakan bodoh oleh semua orang.

Selama dua puluh tahun, Bayu berusaha keras untuk menyetarakan dirinya dengan Banyu-yang sialnya, begitu cemerlang. Ayah menyerah mengajari Bayu karna dia lambat dalam menangkap pelajaran dan akhirnya menganggapnya lebih bodoh dari Banyu. Sementara itu, Bundanya tidak bisa berbuat apa-apa. Bukannya Bunda tidak mencintainya, dia dilarang oleh Ayah untuk membantu Bayu supaya Bayu jera.

Tidak punya pilihan lain, Bayu belajar membaca, menulis, juga mengeja sendiri pada waktu malam hari. Bayu selalu mendapat nilai jelek dalam pelajaran matematika ataupun sains. Dia juga tidak begitu bisa menghapal. Maka dari itu, dia selalu menjadi urutan terbawah di kelasnya. Bayu selalu disimbolkan dengan elemen yang selalu berkebalikan dengan Banyu.

Tidak seperti Banyu, Bayu tidak begitu mengerti musik jazz yang mengutamakan ketepatan nada. Bayu lebih akrab dengan music-musik rock atau metal yang keras. Perjuangannya selama dua puluh tahun membuahkan hasil. Kini Bayu sudah lebih terbiasa untuk membaca dan menulis, tapi dia tetap tidak senang melihat tulisan-tulisan kecil di koran karna dia masih harus berpikir keras. Bayu tidak akan membaca apa pun kecuali memang perlu.

"Bay, Kok bengong?" Bunda tahu-tahu mengusap rambut Bayu -hal yang tidak pernah dilakukannya lagi selama bertahun-tahun. Bayu menatap Bunda muram. Sebenarnya Bayu merindukan pelukan Bunda, merindukan cerita- ceritanya sebelum tidur, yang terhenti saat usianya baru tujuh tahun, segera setelah orangtuanya mengetahui ada yang tidak beres pada otak Bayu.

Selanjutnya, hanya Banyulah yang masih dibelai dan diceritakan dongeng sebelum tidur, sementara Bayu dipukuli karna tidak bisa menjawab pertanyaan yang benar dari Ayah.

"Kerjaannya kan memang begitu. Bengong saja kayak orang bodoh," kata Ayah tiba-tiba sambil bangkit untuk mengisap rokok.

"Cobalah, buat sesuatu yang berguna. Sekali saja, bikin ayahmu bangga." Mata Bayu mengikuti Ayah yang segera berbalik dan berjalan menuju pintu depan. Bayu merasakan darahnya sudah mendidih dan naik ke kepalanya. Bunda menatapnya simpati, tapi bergerak menuju dapur. Banyu juga bangkit dan membawa koran ke depan TV. Selalu begini. Selalu Bayu yang tertinggal di belakang.

***

"Wow, panas banget!" keluh seorang gadis saat keluar dari bandara. Dia menyibak rambut indahnya yang panjang dan bergelombang, lalu menyeka keringat yang mengalir di dahinya dengan sekali gerakan indah. Orang-orang yang berada di sekitar gadis itu menatapnya kagum.

Gadis itu menengok ke kanan, bermaksud mencari taksi. Dia sudah tak sabar bertemu dengan seseorang. Seseorang yang sangat dirindukannya.

tbc

Summer BreezeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang