Dieci

177 14 0
                                    

BAYU mengisap rokoknya dalam-dalam sampai dadanya terasa sesak, lalu mengembuskannya keras-keras. Dibenturkannya bagian belakang kepalanya ke pohon sehingga terasa sakit, lalu dia menengadah ke langit.

Tadi, setelah melihat Caroline dan Banyu bersama di gazebo, Bayu segera berjalan kalap keluar rumah tanpa memedulikan teriakan Ayah, lalu akhirnya sampai di tempat ini, taman tempat Bayu, Caroline, dan Banyu berjanji sepuluh tahun lalu. Bayu juga tidak tahu mengapa kakinya membawanya ke tempat ini.

Bayu berjongkok, bersandar pada pohon yang bertuliskan 'Bayu-Olin-Banyu', lalu mengisap rokok lagi. Banyu. Dia selalu saja mengambil apa pun milik Bayu. Ayah dan Bunda. Semua pemberian Ayah dan Bunda. Deandra. Juga Caroline. Bayu mendengus keras. Caroline. Gadis itu bukan milik Bayu.

Gadis itu mungkin saja sudah menjadi milik Banyu. Seperti semuanya, Banyu tidak akan melepaskan begitu saja Caroline yang pernah menjadi bagian dari hidup Bayu. Masih menjadi bagian dari hidup Bayu. Bayu membenturkan kepalanya lagi dengan lebih keras ke pohon untuk menyingkirkan pikirannya barusan.

Caroline sudah keluar dari hidupnya sejak sepuluh tahun yang lalu, sejak Caroline memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Caroline sudah tak ada baginya. Saat ini, yang ada di rumahnya hanyalah gadis biasa yang akan menjadi kekasih Banyu.

"Bayu?" Bayu menundukkan kepala, melihat siapa yang memanggilnya. Sebenarnya, Bayu tak perlu melakukannya, karna dia sudah tahu dari suaranya.

Caroline. Berdiri tepat di depan Bayu dengan kedua tangan di depan dada. Bayu mendengus melihat gadis itu, yang lebih terlihat defensif daripada kedinginan.

"Ngapain kamu di sini? Kenapa nggak pulang?" tanya Caroline cemas.

"Lo bukan istri gue," jawab Bayu spontan, lalu detik berikutnya menyesal telah berkata sesuatu yang akan menjadi fantasinya seumur hidup.

Caroline menatap Bayu sedih. Bayu sekarang sudah tak bisa dikenalinya lagi. Caroline mengawasi Bayu yang kembali mengisap rokoknya.

"Rokok nggak bagus lho, buat kesehatan," kata Caroline.

"Nggak ada yang peduli sama kesehatan gue," tukas Bayu. Bahkan Bayu sendiri tak peduli pada kesehatannya.

"Aku peduli," kata Caroline tiba-tiba, membuat Bayu selama beberapa saat merasakan perhatian yang tak pernah didapatkannya. Namun detik berikutnya, Bayu mendengus.

"Kayak gue percaya," kata Bayu datar.

"Kenapa kamu nggak percaya?" tanya Caroline. Bayu memandang Caroline tak percaya.

"Kenapa gue nggak percaya? Pertanyaan bagus. Akting yang bagus," Bayu bangkit dan menghampiri Caroline, lalu melewatinya.

"Bay," Caroline memegang tangan Bayu. Darah Bayu berdesir, dan detak jantungnya mengalami percepatan gila-gilaan.

"Aku peduli sama kamu."

"Simpen perhatian lo buat Banyu," sergah Bayu.

"Gue udah terbiasa nggak dikasih perhatian." Saat Bayu melangkah menjauh, Caroline merasa sesak napas. Caroline tidak mau Bayu pergi. Caroline sudah menunggu saat yang tepat untuk berdua saja dengan Bayu.

"Apa kamu udah ngelupain aku?" sahut Caroline membuat langkah Bayu terhenti.

"Aku harus denger dari mulut kamu sendiri. Aku nggak percaya sama orang lain! Aku percaya sama kamu!"

Pasti Banyu yang sudah memberitahu Caroline bahwa Bayu sudah melupakan Caroline.

"Banyu bener. Gue udah ngelupain lo. Lo pikir, gue bakal inget lo terus selama sepuluh taun? Kayak lo pantes diinget aja," Bayu mengirup rokoknya dengan emosi. Caroline hampir menangis.

"Kenapa, Bay? Kenapa kamu berhenti inget sama aku? Kenapa? Aku selalu inget sama kamu! Aku nggak pernah berhenti mengharapkan hari itu tiba!" sahutnya parau.

"Hari itu tiba? Hari itu udah lewat, Lin, hampir setengah taun! Lo pikir, pue mau nungguin lo sampe tua? Yang bener aja! Dan lo selama sepuluh taun inget sama gue? Lo pikir gue bego?" sahut Bayu tak sabar. Kepalanya terasa sangat sakit.

"Bay, aku nggak bohong!" sahut Caroline, sekarang air matanya sudah mengalir. Bayu membuang rokoknya. 

"Oh, jadi gue yang bohong? Jadi, lo selama sepuluh taun ini ngirim surat? Nelepon? Ngasih alamat lo di sana? Ngasih kabar kalo lo masih idup, hah, iya??" Caroline menangis tersedu-sedu. Bayu menatapnya sebal, lalu menginjak puntung rokok hingga nyalanya padam.

"Lo tau, lo seharusnya nggak usah dateng lagi ke sini," kata Bayu sebelum berbalik dan meninggalkan Caroline yang masih terisak. Caroline merasa lututnya bergetar dan tak kuat lagi menyangganya. Dia terduduk di lapangan basket yang dingin sambil terus terisak. Mungkin memang sebaiknya dia tak datang lagi ke sini.


*tbc*

Summer BreezeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang