Venti

167 9 0
                                    

SABTU pagi, semua orang kecuali Ayah sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Bayu yang biasanya bangun siang pun tampak sudah rapi dan wangi. Banyu mengamati Bayu yang dengan seenaknya menjejalkan segala macam hal di meja makan - selada, tomat, mayones, telur, saus tomat- ke dalam rotinya. Setelah pembicaraannya dengan Caroline kemarin, Banyu merasakan sesuatu terhadap Bayu, entah apa. Sepertinya Banyu merasa Bayu memang sedang membutuhkan pertolongan, tapi Banyu tak tahu harus berbuat apa. Bayu lah yang dulu selalu membantunya. Bayu dapat merasakan tatapan Banyu.

Jadi, Bayu balas menatapnya, mengira Banyu jijik terhadap racikan roti isinya, lalu menggigit roti itu dengan buas. Caroline terkikik melihat kelakuan Bayu. Tak lama kemudian, Ayah keluar dari kamar dan bergabung ke meja makan. Ayah keheranan melihat Bayu yang biasanya masih tergeletak di sofa, sekarang sudah berdiri dengan pakaian lengkap.

"Mau ke mana kamu?" tanya Ayah. Bayu menatap Ayah sebentar, salah tingkah.

"Hm... keluar, Yah," jawab Bayu tak jelas.

"Kamu pikir Ayah bodoh ya?" sahut Ayah dengan nada tinggi, membuat kegiatan di ruang makan terhenti.

Mendadak, semua orang merasa tegang. Bayu menatap Ayah tajam. Bayu tidak bisa mengatakan padanya bahwa dia akan berangkat kerja paruh waktu untuk menambah biaya kuliah penerbangannya nanti. Ini sebuah kejutan, dan tidak akan mengejutkan jika diberitahu sekarang.

"Kamu ini kerjaannya main melulu," komentar Ayah, tapi sudah lebih tenang. Dia duduk di kursi makan.

"Kalau nggak ngacau, berantem. Pulang-pulang pasti bonyok, bikin malu keluarga saja." Bayu terdiam menahan semua emosinya. Roti isinya seperti menyangkut di tenggorokan. Dia dapat merasakan tangan dingin Caroline menggenggam tangannya.

"Mau jadi apa sih kamu ini?" tanya Ayah lagi, sementara semua orang masih bergeming.

"Jangan-jangan selama ini kamu ngobat juga ya?" Bayu merasa darahnya menggelegak dan naik ke kepalanya. Dia sudah tak tahan lagi. Tapi tangan Caroline membantunya untuk tetap tenang.

"Aku kerja, Yah," kata Bayu tegas. Reaksi Ayah begitu keras. Mata dan mulutnya melebar. Bayu menatapnya gentar. Tak berapa lama, Ayah malah tertawa terbahak-bahak.

"Kerja? Kamu? Bisa apa kamu?" sahutnya sinis.

"Apa aja," balas Bayu mantap.

"Kerja di bengkel, di restoran, di mana aja." Mendengar jawaban Bayu, Ayah terdiam sebentar. Dia lalu memukul meja keras-keras, membuat semua orang berjengit di tempat masing-masing.

"Kamu mengejek Ayah ya? Kamu pikir Ayah sudah nggak sanggup membiayai kamu? Kamu meremehkan Ayah?!" sahutnya dengan suara menggelegar. Bayu tak menjawab. Dia tahu bahwa tak ada yang harus dijawab.

"Memang kamu anak kurang ajar!" sahut Ayah lagi. Sekarang dia sudah bangkit, rotinya dilempar begitu saja. Bayu sendiri sudah siap menerima apa pun darinya. Tapi, Ayah tak memukul ataupun menampar. Dia malah pergi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak tau kamu mau jadi apa... Ayah sudah pasrah...," gumamnya sambil meninggalkan ruang makan menuju gazebo. Bayu sempat berpikir untuk melupakan semua cita-citanya. Tapi kalau dia melakukannya, tak akan ada satu pun perubahan pada dirinya. Dan Bayu tak mau itu terjadi.

"Bay," kata Bunda pelan. Wajahnya terlihat sangat lelah.

"Kenapa sih, kamu sampai kerja segala?"

"Bun, ada sesuatu yang pengen Bayu beli. Dan Bayu nggak mau nyusahin Ayah sama Bunda," Bayu meraih ranselnya.

"Bayu pergi dulu." Dengan langkah berat, Bayu bergerak ke luar rumah.

Summer BreezeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang