VentiSei

257 16 2
                                    

Warning: menguras emosi....maaf nggak sesuai ekspetasi...selamat membaca



"Bay, ayo kita ke Dufan," kata Bunda dengan senyum selembut peri.

"Bener, Bun? Kita ke sana?" sahut Bayu tak percaya. Bunda mengangguk.

"HORREE!"

"Tunggu dulu," sambar Ayah tiba-tiba.

"Nanti malem kamu habisin dulu bacan ini. Kalo besok selesai, baru kita pergi ke Dufan."

Bayu mengangguk bersemangat. Akan dibacanya habis buku ini. Seumur hidup Bayu sudah memimpikan Dufan, dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Besoknya, Bayu tampak murung.

"Gimana Bay, bukunya?" tanya Ayah.

"Yah, semalem Bayu muntah," kata Bayu jujur.

"Apa? Muntah? Kamu sakit, Nak? Ya sudah, kapan-kapan saja kita ke Dufan," kata Bunda khawatir sambil memegang dahi Bayu

"Ya, kapan-kapan saja kita ke Dufan, kalau kamu udah berhasil selesai membaca buku yang kemarin Ayah kasih."

Bayu menatap sedih ayahnya. Dia sadar. Sampai kapan pun, dia tak akan pernah melihat Dufan.

Bayu membuka matanya perlahan. Sangat silau. Dan kabur. Kepalanya nyeri, rasanya seakan mau pecah. Oh, mungkin saja sudah pecah, Bayu tak tahu lagi. Yang jelas kepalanya berdenyut hebat, menyakitkan, dan membuatnya ingin muntah. Yang pertama dilihatnya adalah Ayah.

Dia tertidur di samping Bayu. Bayu mengerjapkan matanya, lalu dia bisa melihat Banyu di seberang ruangan yang sedang membaca koran. Pipinya lebam dan dia memakai baju pasien, sama seperti dirinya.

Banyu tidak sengaja melirik Bayu dan mendapatinya sudah siuman. Dia langsung melompat lalu mendekati Bayu, melupakan luka di tubuhnya sendiri.

"BAY! Lo udah siuman? Syukurlah... Yah, Bayu udah sadar, Yah!" sahut Banyu bersemangat. Bayu mengernyit melihat wajah Banyu yang babak belur dan tangannya yang digips. Ayah bergerak bangun, lalu menatap Bayu. Entah apa Bayu bermimpi, tapi jelas-jelas bisa melihat kalau Ayah baru menangis. Ayah. Menangis. Bukan hal yang bisa diimpikan Bayu.

"Nyu, panggil Bunda sama Olin," perintah Ayah, membuat Banyu segera keluar.

"Bay, kamu udah koma hampir sejam," kata Ayah sambil menahan tangis.

"Ayah pikir kamu nggak akan sadar lagi." Bayu tak menjawab. Otaknya dipenuhi pikiran mengharukan bahwa ayahnya tidak marah karna dia habis berkelahi, dan malah menangis.

Seakan belum cukup membuat shock, Ayah mengusap dahi Bayu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, terdengar suara Bunda yang tergopoh-gopoh masuk.

"Bayu!!" serunya sambil menghambur ke arah Bayu. Air matanya sudah berlinang-linang.

"Ya ampun Bayu, Bunda sayang banget sama Bayu!" Banyu bergabung dengan keluarganya, lalu menatap Bayu hangat.

"Thanks, Bay," kata Banyu tulus. Bayu hanya tersenyum lemah menghadapi keluarganya. Diliriknya Caroline yang sudah hampir menangis di samping Banyu.

"Hai," bisik Bayu lemah. Caroline tersenyum, lalu mendengus sebal.

"Bego," katanya, lalu terkekeh. Saat ini, Bayu merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Dia sampai merasa mati pun tidak apa-apa kalau bisa mendapatkan perhatian yang selayak ini.

***

"Anak Bapak mengalami gegar otak," kata Dokter Tami, Dokter yang menangani Bayu.

"Dia sudah mengalami gejala-gejala vegetatif, pusing dan muntah-muntah. Hal ini wajar saja, berhubung dia sudah mengalami koma selama hampir satu jam dan baru siuman dari operasi beberapa hari setelahnya."

Summer BreezeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang