"Sorry, Al. Aku lagi sibuk hari ini. Ada tugas dari dosen yang mesti aku kerjain. Kamu nggak pa pa, kan pulang sendiri?"
Alea menggigit bibir bawahnya. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia sedikit kecewa mendengar suara Kak Angga di ujung telepon. Tapi, apa boleh buat. Punya pacar anak kuliahan mungkin membutuhkan hati yang lapang dan kesabaran luar biasa bak menunggu tumbuhnya biji kacang di musim kemarau. Lagipula bukan pertama kali ini Kak Angga tidak bisa menepati janjinya karena harus mengerjakan tugas dari dosen.
"Nggak pa pa, Kak." Alea mencoba mengembangkan tawa kecil serenyah mungkin meski Kak Angga tak bisa melihat dua ekspresi sekaligus tergambar di wajah lelahnya. "Aku bisa naik bus ntar. Kak Angga nggak usah khawatir."
"Okay. Bye, Al."
Alea tertegun masih dengan ponsel erat dalam genggaman tangannya. Beberapa hari terakhir Kak Angga tak bisa menjemputnya karena sibuk mengerjakan tugas kuliah. Apa semua dosen seperti itu, memberi tugas begitu banyak pada mahasiswanya? Apa dosen itu sengaja ingin mempersulit Kak Angga? Kasihan Kak Angga ...
Alea bergegas menyimpan ponselnya di dalam saku sembari merutuk dalam hati.
"Eh, Kak Alea, ya?"
Alea tersadar dari sesi singkat lamunan kecilnya tentang Kak Angga, dosen, dan setumpuk tugasnya, ketika sebuah suara asing nan empuk menyapa indra pendengaran cewek itu.
Seorang cowok berseragam abu-abu putih sudah berdiri di depan Alea seraya menawarkan seulas senyum hangat. Cewek itu manyun selama beberapa detik melihat penampakan asing di hadapannya. Jujur, ia baru melihat cowok itu hari ini, sebelumnya belum pernah. SMU Harapan terlalu luas dan mana mungkin ia mengenal seluruh penghuninya.
Sepasang mata Alea segera memindai makhluk yang masih menawarkan senyum hangat untuknya. Postur tinggi, kulit putih bersih, rambut lurus dengan potongan rapi, wajah lumayan ganteng, seragam baru ...
Yes. Tidak salah lagi. Cowok itu adalah adik kelasnya. Selama ini Alea tidak terlalu memperhatikan anak-anak baru di sekolahnya. Nyatanya ada juga adik kelas yang berwajah unyu-unyu, batin Alea mulai salah tingkah. Bagaimana ia tidak salah tingkah kalau seseorang menyapanya tiba-tiba? Padahal ia sama sekali tidak masuk dalam kategori siswi populer di sekolah itu, tapi kenapa cowok itu tahu namanya?
"Ya?" Alea mulai melukis sebuah senyum di bibirnya yang mulai mengering. Kerutan di keningnya seolah mencetak sebuah tanda tanya besar.
"Kakak yang pingsan tadi saat upacara bendera, ya?"
OMG!
Senyum di bibir Alea berangsur memudar demi mendengar kalimat adik kelasnya itu. Jadi, maksudnya Alea mendadak terkenal gara-gara pingsan tadi pagi saat upacara bendera? Pantas saja saat berjalan menapaki koridor beberapa pasang mata mencuri perhatian cewek itu. Alea tak menaruh curiga sama sekali karena pikirannya tak menjangkau sampai sejauh itu. Ia hanya berpikir positif dan tidak pernah menduga jika pemilik berpasang-pasang mata itu melihat ke arahnya karena tahu dirinyalah seseorang yang pingsan tadi pagi. Tapi, sekarang ia sudah tahu semuanya dan itu membuat Alea jengkel bukan kepalang. Ditambah lagi Kak Angga tidak bisa menjemputnya.
Sial. Pakai banget!
"Kak Alea! Kak!"
Lengan Alea terguncang pelan berbarengan dengan suara empuk milik cowok berwajah unyu itu.
"Ya, gue yang pingsan tadi. Kenapa emang?" sahut Alea dengan nada ketus.
"Sorry." Cowok yang bahkan Alea tidak tahu namanya itu tersenyum canggung. "Kalau gitu aku pergi dulu." Ia mundur beberapa langkah lalu melesat pergi dari hadapan Alea. Lebih tepatnya kabur dari depan cewek itu sebelum kemarahan Alea meledak.
Sebel.
Cewek itu hanya bisa mendengus keras-keras sambil menendang sebuah batu kecil yang menghalangi langkahnya menuju ke halte terdekat. Untungnya batu itu hanya berguling pelan, tak sampai mengenai sepatu beberapa siswi yang sedang berjalan di depan Alea.
Apa hebatnya menjadi terkenal gara-gara pingsan? Lagian berita kayak gitu sama sekali nggak bermutu. Tapi kenapa justru berita murahan kayak gitu jadi gosip seisi sekolah, sih? Kenapa nggak nggosipin orang lain yang lebih populer, lebih cantik..."
"Alea!"
Spontan saja kepala Alea menoleh mencari sumber suara yang menyebut namanya dengan keras saat cewek itu sibuk merutuk dalam hati. Bukan hanya Alea saja yang menoleh, tapi beberapa siswi yang kebetulan sedang berada di halte ikut mengalihkan perhatian mereka. Berpasang-pasang mata di tempat itu menatap Alea lalu merebaklah kasak kusuk yang tak begitu jelas di antara kepala-kepala yang dinaungi atap halte yang berfungsi sebagai penyelamat dari guyuran sinar matahari yang terik membakar kulit.
Alea sadar, jika ia sekarang sedang menjadi trending topic di antara siswi-siswi yang sedang menunggu bus. Tapi, apa yang bisa ia perbuat? Tak ada. Lagipula kasak kusuk itu tidak berlangsung lama. Para siswi itu beralih tema perbincangan sejurus kemudian.
"Manyun aja."
Alea tergagap ketika kembali menoleh, seseorang sudah berdiri di depannya.
"Azka!" Alea nyaris menjerit saking kagetnya.
Cowok berambut gondrong dengan senyum lebar sedang berdiri di depan Alea sekarang. Ujung seragam putihnya terlihat menjuntai keluar dari dalam selembar jaket berwarna abu-abu gelap yang membungkus tubuh tinggi tegapnya. Sepasang sepatu sneakers black and white-nya terlihat kusam karena tertutupi debu tebal. Entah berapa lama benda itu tak pernah tersentuh air dan sabun. Hanya Azka dan Tuhan saja yang tahu.
"Ngapain lo bengong di sini? Nggak pulang lo?" cecar Azka dengan gaya ceplas ceplosnya.
"Lo nggak lihat gue lagi nungguin bus?" sahut Alea sewot.
"Oh, iya. Ini kan halte." Azka terkekeh dengan tangan menggaruk kepala. Dan rambut gondrongnya bertambah acak-acakan. "Eh, nggak. Maksud gue, biasanya kan lo dijemput sama gebetan lo. Emang dia ke mana? Oh, iya. Beneran tadi pagi lo pingsan? Gue dengernya dari anak-anak, tapi gue nggak sempet nyari lo pas istirahat tadi. Gue ketiduran dan nggak ada yang mau bangunin gue. Kesel banget, kan? Dasar nggak setia kawan ...."
Alea hanya bisa bengong menatap ke wajah Azka yang terlihat bodoh. Ngomong sendirian ke sana kemari tanpa jeda seperti penyiar radio, beralih tema sesuka hati tanpa menghargai lawan bicaranya. Namun, begitulah Azka. Si bodoh, dekil, usil, dan preman sekolah. Dan berita buruknya, cowok itu adalah teman Alea. Kebetulan mereka pernah satu sekolah saat TK dan kembali bertemu di SMU yang sama meski beda jurusan. Azka lebih suka mengambil jurusan IPS ketimbang IPA.
"Udah ngomongnya?" tegur Alea kalem. Bukan karena ia sesabar itu, tapi ia harus mati-matian menahan diri agar tak meledakkan emosi di tempat umum seperti ini.
"Emang lo mau denger cerita gue yang lain lagi?" tanya Azka dengan memasang tampang tak berdosa.
"Nggak, makasih. Gue mau pulang."
"Kenapa nggak bareng aja? Gue bisa nganterin lo pulang, kok. Lagian kita kan searah," tawar Azka terlihat tulus. Sedang ibu jarinya menunjuk ke arah sebuah motor vespa biru setengah butut diparkir tak jauh dari halte. Tak lupa senyum manis terpasang di wajahnya sebagai pelengkap penawaran terikhlas yang ia tawarkan untuk Alea.
Hah?
Mulut Alea ternganga mendengar penawaran yang sama sekali tidak menggiurkan dari bibir Azka.
Gue? Naik motor begituan? Yang bener aja!
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue Sayang Lo, Al! #tamat
Teen FictionAlea mencintai Kak Angga dan mempercayai cowok itu sepenuh hatinya. Tapi kenyataannya Alea hanyalah orang ketiga dalam hubungan jarak jauh antara Kak Angga dan kekasihnya. Kak Alvin, kakak Alea, marah besar dan menghajar Kak Angga untuk membalaskan...