Bab 04

521 11 0
                                    

"Gimana, Al? Lo jadi beli kado buat Kak Angga?" tanya Raya seraya mengusap tetesan keringat yang mengucur deras di kedua pelipisnya. Langkah-langkah kakinya mulai diperpendek karena kelelahan. Begitu juga dengan Alea.

Berlari mengitari lapangan sebelum olahraga memang sudah menjadi hal rutin yang harus anak-anak kelas XI IPA 2 lakukan, begitu juga dengan anak-anak kelas lain. Itu adalah peraturan yang Pak Sapto terapkan bagi anak-anak didiknya. Tapi, kedisiplinan yang Pak Sapto terapkan bukanlah sesuatu yang sia-sia. Berita baiknya, pria berusia 40 tahun itu pernah menang dalam beberapa kejuaraan atletik tingkat nasional dan internasional. Pak Sapto juga berhasil membawa anak-anak SMU Harapan memenangkan berbagai macam kompetisi olahraga atletik tingkat propinsi dan nasional.

"Nggak," jawab Alea sambil menggeleng kuat-kuat sehingga juntaian kuncir kudanya terlihat bergoyang ke sana kemari.

"Kenapa nggak?" balas Raya sambil mengatur napas. Kini mereka berdua benar-benar jauh tertinggal dari teman-temannya. "Lo nggak jadi ngasih kado sama Kak Angga?"

"Jadi. Tapi, gue belum beli. Selain nggak ada temennya, gue masih bingung mau ngasih apa. Lo kepikiran sesuatu nggak?" 

"Ya, ampun, Al. Please, jangan nanya soal begituan sama gue, deh. Gue bener-bener nggak punya ide sama sekali."

Alea mencebik tanpa sepengetahuan Raya. Sobat baiknya memang benar. Kepandaian Raya hanya berguna saat ulangan atau pas ada PR dan Alea belum sempat mengerjakan.

"Hei, kalian! Cepetan dong larinya! Masa ketinggalan sama yang lain? Yang semangat, dong!"

Aishhh.

Alea dan Raya serempak mengarahkan kepala ke tepi lapangan di mana tubuh Pak Sapto berada. Pria bertubuh tinggi besar memakai setelan olahraga berwarna merah menyala plus sebuah peluit menggantung di leher itu terlihat kesal. Ia bertepuk tangan berkali-kali demi menyemangati Alea dan Raya yang tengah berlari kecil di posisi paling akhir.

Raya dan Alea terpaksa mengakhiri perbincangan seru mereka dan melanjutkan ritual wajib mengitari lapangan sebelum Pak Sapto mengulangi teriakannya.

"Istirahat 10 menit," ucap Pak Sapto seraya mengangkat tangan kanannya demi melihat jam yang melingkar di sana ketika semua anak kelas XI IPA 2 telah menyelesaikan putaran mereka. Sesi olahraga inti biasanya akan dilanjutkan setelah istirahat.

Raya dan Alea melangkah ke tepi lapangan mengikuti anak-anak lain yang telah lebih dulu menyelonjorkan kaki di sana seraya meneguk air minum masing-masing. Istirahat singkat sebelum olahraga inti benar-benar mereka manfaatkan dengan baik, selain melepaskan dahaga juga untuk berbagi obrolan ringan seputar pelajaran atau topik yang lain. Beberapa membahas pacar dan sebagian yang lain mengulas seputar otomotif khususnya para cowok.

"Lo tahu, kemarin gue dianterin pulang sama siapa?" Alea membuka obrolan setelah meneguk isi botol air minumnya. Rasa haus yang menggerogoti kerongkongannya lepas sudah.

"Siapa emang?" balas Raya tidak terlalu antusias. Cewek itu sibuk mengelap wajah dengan lengan kaus olahraganya.

"Azka."

"Azka?" ulang Raya tampak tercengang. Cewek itu buru-buru mengenakan kembali kacamata minusnya dan menatap ekspresi wajah Alea. "Kok bisa? Emangnya Kak Angga nggak jemput lo?"

Kepala Alea menggeleng pasrah.

"Kak Angga sibuk ngerjain tugas," gumam Alea dengan nada memelas.

"Terus kenapa lo mau dianterin Azka pulang?" cecar Raya terlihat tidak ikhlas sahabat baiknya diantar pulang oleh Azka.

"Gue dipaksa sama dia, Ray. Awalnya gue juga nolak, tapi dia main tarik-tarik tangan gue. Mana gue bisa nolak kalau gitu? Ntar orang-orang ngira dia mau nyulik gue," oceh Alea cepat, bersemangat, dan tanpa jeda.

"Dasar preman gondrong," maki Raya setengah bergumam.

"Dia nggak seburuk itu kok, Ray." Alea terkekeh mendengar ungkapan kekesalan Raya. Padahal Alea yang diantar pulang, kenapa malah dia yang sewot?

"Emangnya lo nggak tahu kalau Azka tuh buronan Wakasek karena gemes pingin motong rambut gondrongnya?"

"Nggak."

"Asal lo tahu ya," Raya menarik napas sebagai persiapan untuk membeberkan betapa menyebalkan si Azka itu pada Alea. "Azka itu nggak pernah ngikutin upacara bendera tiap Senin karena takut kena razia kedisiplinan. Tiap Senin pagi Wakasek kan berdiri di depan pintu gerbang dan lo tahu dia bawa apaan? Gunting, Al." Cewek itu nyerocos dengan penuh semangat. Sementara Alea hanya bengong mendengar penuturan Raya.

"Gue tahu Pak Darman gencar ngadain razia tiap Senin, tapi gue nggak tahu kalau dia bawa gunting," komen Alya dengan sepasang alis bertaut.

"Ya disembunyiin-lah, Al. Masa dia mau stand by sambil nenteng-nenteng gunting? Ntar dikatain tukang cukur lagi," sambar Raya agak kesal. Kadang-kadang Alea kurang update juga selama bersekolah di sana.

"Tapi Azka kok bisa lolos gitu, ya?" Alea bergumam, seolah bertanya pada angin segar yang tiba-tiba berembus ke wajah mereka berdua. Lumayan menyejukkan.

"Mana gue tahu." Raya mengedikkan kedua bahunya. "Azka punya ilmu menghilang kali," imbuhnya ngawur.

Alea terkekeh mendengar kelakar Raya. Ya, selama ini ia memang tidak terlalu tahu tentang Azka. Cowok itu kerap bersikap cuek pada siapa saja dan kalau ia tiba-tiba bersikap baik, bisa dibilang itu semacam kejadian langka. Mungkin kesurupan jin baik hati.

"Eh, ntar lo jadi ikut daftar taekwondo?" Tiba-tiba saja Raya teringat pemberitahuan Kepsek saat upacara bendera kemarin pagi, kalau semua siswa di SMU Harapan harus mengikuti minimal satu kegiatan ekstra kurikuler. Dan Alea pernah mengungkapkan keinginannya untuk mengikuti ekskul taekwondo.

"Jadi dong. Lo juga mau daftar?" Sebelah mata Alea mengedip jenaka. Jurus merayu genit ala Alea.

"Big no." Raya mengangkat kedua tangannya sebagai tanda penolakan tegas. "Gue sama sekali nggak minat sama taekwondo, silat, judo, atau semacamnya. Apalagi kalau cuma buat keren-kerenan. Gue ogah," imbuhnya.

"Yee, lo nyindir gue?" protes Alea dengan sebelah tangan mendorong pundak Raya. Memang sih, Alea pernah bilang kalau ia ikut taekwondo karena ingin terlihat keren. Tapi, sepertinya hal itu tidak perlu dibahas, deh.

"Emang kenyataannya gitu, kan?"

Alea mendengus.

"Terus, lo mau ikut ekskul apa? Lo kan udah punya jadwal les. Gimana mau bagi waktunya?" lanjut Alea meneruskan sesi obrolan mereka di sela-sela istirahat singkat yang diberikan Pak Sapto, guru olahraga berprestasi di sekolah mereka.

"Kayaknya teater, deh."

"Wow, keren tuh," decak Alea sambil mengacungkan jempol kanannya. "Kayaknya bakal ada aktris baru di negeri ini, betul nggak?"

"Aktris apaan? Daftar aja belum," balas Raya dengan memonyongkan bibir. Kadang-kadang Alea lucu sekaligus bego juga.

"Tapi kan masih ada harapan terbentang di depan sana, Ray...."

Priiiitttt!

"Istirahat selesai! Silakan berbaris dengan rapi di lapangan!" Suara Pak Sapto terdengar menggema di segenap penjuru lapangan usai meniupkan peluit panjang. Ini kan bukan pertandingan sepak bola?

"Yaaa Pak!"

Raya dan Alea saling berpandangan sesaat sebelum akhirnya bangun dari tempat duduk masing-masing lalu menyusul yang lain ke tengah lapangan.

Gue Sayang Lo, Al! #tamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang