Bab 39

247 6 0
                                    

"Kak Alvin?!"

Sepasang mata bening Alea melotot maksimal ketika melihat penampakan Kak Alvin yang sedang berjalan santai masuk ke dalam ruangan. Di tangannya ada sebatang bunga mawar yang dibungkus plastik bening dengan hiasan pita kecil. Ia lantas mengulurkan benda itu ke hadapan Alea.

"Buat lo," ucap Kak Alvin sok romantis. Lagaknya seperti orang yang sedang kasmaran.

Alea tak langsung menerima benda itu dari tangan kakaknya. Cewek itu masih melongo. Ia sadar tidak sedang bermimpi sekarang, tapi bagaimana bisa Kak Alvin ada di depannya? Bukankah seharusnya Kak Alvin ada di penjara sekarang?

"Kakakmu sudah bebas, Al." Mama yang baru saja masuk ke kamar langsung memberitahu.

"Kok bisa? Kak Angga mencabut tuntutannya?" desak Alea tak sabar. Rencananya sore ini ia pulang ke rumah setelah tiga hari harus menginap di rumah sakit.

"Lo nggak seneng kalau gue udah bebas?" Kak Alvin menempati kursi kayu yang tersedia di dekat ranjang Alea. Sementara Mama sibuk mengemasi barang-barang milik putrinya.

"Bukan gitu," sahut Alea dengan wajah cemberut. Cewek itu menyambar bunga mawar dari tangan kakaknya dengan gerakan kasar.

"Lo kenal Dito, kan? Dia temen lo?" Kak Alvin menukas sebelum Alea sempat menebak kalau Kak Angga sudah mencabut tuntutannya dengan sukarela. Tapi kakaknya malah menyebut nama lain.

"Dito? Emang kenapa Dito?" tanya Alea dipenuhi rasa penasaran.

"Kemarin Dito dateng ke kantor polisi. Dan apa lo tahu apa yang udah dia lakuin di sana? Dito nyogok para polisi itu buat bebasin gue, tahu nggak? Bener-bener amazing tuh anak. Lo tahu kan, hukum di negeri ini bisa dibeli apalagi untuk kasus-kasus kecil semacam kasus gue. Tapi gue nggak tahu pasti berapa rupiah yang dia keluarin untuk negosiasi itu, tapi tolong sampaiin rasa terima kasih gue buat dia. Kapan-kapan lo kasih dia bingkisan atau apa gitu, kek," papar Kak Alvin sejelas mungkin.

"Hah?" Alea mengangakan mulutnya usai mendengar penjelasan singkat kakaknya. Dito? batin cewek itu masih tak percaya. Bisa-bisanya Dito melakukan hal itu tanpa sepengetahuannya. "Kak Alvin tahu kalau Dito itu sepupunya Kak Angga?"

"Mau sepupunya Angga atau bukan, tetep aja dia bukan Angga, Al. Dan kayaknya dia lebih baik daripada Angga."

Jadi, maksudnya Kak Alvin setuju kalau Alea pacaran sama Dito?

"Lo suka sama Dito?"

Alea tergagap.

"Suka apanya? Dia cuma temen ...."

"Temen apa demen?" goda Kak Alvin sambil menyolek lengan adiknya. "Pacaran juga nggak pa pa, kok. Kayaknya Dito tajir banget tuh. Lo bisa minta dibeliin mobil sama dia ntar. Bukannya lo pingin banget bisa nyetir sendiri?"

"Apaan sih?" gerutu Alea. Tangannya bergerak ke pundak Kak Alvin dan berhasil mendaratkan sebuah pukulan ringan di sana. Cewek itu langsung menekuk wajah.

"Papa mana, Vin?" tegur Mama yang telah selesai mengemasi barang-barang milik Alea. Sudah waktunya mereka pulang, tapi Papa tak kunjung muncul.

"Papa nunggu di mobil, Ma."

"Bantu Mama bawa tasnya Alea, nih," suruh Mama sambil mengangsurkan tas jinjing berisi pakaian dan barang-barang milik Alea.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, Alea membisu di jok belakang. Tak peduli Kak Alvin yang sibuk bermain game di sampingnya. Padahal dalam keadaan normal, Alea paling benci dengan orang yang meminjam ponsel miliknya hanya demi bermain game. Tapi keadaan sedang tidak normal sekarang karena pikiran Alea dipenuhi dengan lamunan-lamunan tentang Dito. Apa cowok itu punya maksud tertentu dengan membebaskan Kak Alvin dari penjara? Pakai menyogok aparat hukum segala. Benar-benar tak bisa dipercaya.

Begitu tiba di rumah, Alea segera menyambar ponselnya dari tangan Kak Alvin dengan paksa. Ia sudah tak sabar ingin mencurahkan segenap unek-unek di hatinya pada Raya. Untung saja sobat kentalnya itu sudah keluar dari kelas bimbingan Matematika dan sedang dalam perjalanan pulang.

"Itu artinya apa, Ray? Apa Dito modusin gue?" tanya Alea setelah  menceritakan perihal kebebasan Kak Alvin dan sekelumit kisah tentang Dito pada Raya. Kamar Alea telah sepi semenjak Mama pergi usai meletakkan tas jinjing milik cewek itu dan memungut isinya untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci.

"Mana gue tahu, Al. Kan lo yang deket sama Dito."

Jawaban yang sama sekali tidak melegakan.

"Dito udah pernah nembak gue, Ray," aku Alea akhirnya. Raya tidak akan bisa memberi solusi jika Alea tidak menceritakan semuanya secara detail.

"O-em-ji!" Alea terpaksa menjauhkan ponselnya dari lubang telinga begitu mendengar teriakan Raya yang lumayan keras. "Dito udah pernah nembak lo, tapi lo diem aja nggak curhat sama gue? Temen macam apa sih lo, Al?!"

Alea nyengir mendengar omelan Raya.

"Gue nggak berniat nerima cinta Dito, Ray. Makanya gue nggak cerita sama lo, lagian saat itu gue belum move on dari Kak Angga. Dito juga kan sepupunya Kak Angga."

"Terus sekarang lo mau nerima cinta Dito setelah dia bebasin kakak lo, gitu?"

"Nggak gitu juga," desah Alea.

"Sebenernya perasaan lo ke Dito gimana, sih? Nggak mungkin lo nggak punya perasaan apapun sama cowok sekeren Dito. Siapa aja bisa langsung jatuh cintrong sama dia, tahu nggak?"

Alea terdiam. Merenungkan perasaannya sendiri.

"Kalau lo nolak cinta Dito nggak pa pa, Al. Gue mau kok jadi pacar Dito."

"Eh, enak aja!" sembur Alea cepat dan tak ikhlas. Dan sedetik kemudian tawa Raya berderai panjang di ujung sana.

"Jadi lo udah nemuin jawabannya?" tanya Raya beberapa menit kemudian.

"Jawaban apa?"

"Jawaban atas perasaan lo sama Dito. Kalau lo nggak mau gue deketin Dito, berarti lo ada rasa sama dia. Gue bener, kan?"

Alea tertegun mencerna maksud perkataan Raya. Apa betul seperti itu?

"Al, nggak tidur?"

Alea tergagap ketika Mama mendadak muncul dari balik pintu kamar. Wanita itu mendelik tak suka melihat putrinya sedang sibuk menelepon padahal ia sudah berpesan agar Alea istirahat.

Alea buru-buru pamit pada Raya dan menutup teleponnya.

"Dokter kan sudah nyuruh kamu istirahat."

"Iya, Ma."

Gue Sayang Lo, Al! #tamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang