Bab 03

593 17 1
                                    

JRENG.

Faktanya detik ini Alea sedang duduk manis di belakang punggung Azka yang terbungkus jaket abu-abu gelap. Lebih tepatnya di atas boncengan motor vespa biru setengah butut milik cowok dekil dan pantas disebut sebagai preman sekolah melihat dari penampilannya itu. Pasalnya Azka memaksa, sih. Bagaimana tidak disebut sebagai pemaksaan kalau tangan Alea diseret begitu saja oleh Azka saat cewek itu sedang manyun karena terlalu banyak berpikir? Bukan berpikir untuk menimbang-nimbang penawaran Azka untuk diantar pulang, tapi lebih pada harkat, martabat, dan harga diri Alea. Masa ia harus diantar Azka pakai vespa biru setengah butut itu, sih? Berdesak-desakan di dalam bus bersama anak-anak lain rasanya jauh lebih baik ketimbang menerima tawaran Azka meski cowok itu ikhlas mengantarnya pulang.

Tapi, kenyataan tetaplah kenyataan. Vespa biru setengah butut yang mengangkut Azka dan Alea itu sedang meluncur dengan kecepatan rendah di atas jalanan yang padat plus bonus terpapar sinar matahari yang terik. Gerah luar biasa. Alea hanya bisa mengomel dalam hati sembari berharap agar ia cepat sampai di rumah lalu meneguk segelas cokelat dingin.

"Kok lo bisa pingsan sih tadi pagi?" Dengan setengah berteriak Azka mengajukan pertanyaan untuk Alea yang sedang bengong merutuki nasibnya dalam hati. Sedari meninggalkan halte bus, belum ada sepatah katapun yang keluar dari bibir cewek itu. Dan Azka terlalu gemas untuk membiarkan suasana kosong di antara mereka berdua. Terlebih lagi perjalanan masih lumayan panjang karena vespa biru setengah bututnya tak bisa berlari kencang.

"Apa?!" Alea setengah tergagap dan bertanya karena suara Azka tak sampai ke telinganya dengan baik.

"Kok lo bisa pingsan tadi pagi?!" Kali ini Azka menambah volume suaranya.

"Gue kelaperan!"

"Kelaperan? Kok bisa? Emang dari kapan lo nggak makan?"

"Dari semalem."

"Kenapa nggak makan? Kalau tahu gitu, gue anterin lo makanan. Kemarin gue bantuin nyokap bikin kue kering banyak banget. Masih ada sisa setoples di rumah. Besok gue bawain, ya?!"

"Nggak usah!" balas Alea masih dengan setengah berteriak.

"Kok nggak usah? Kenapa emang?"

"Udah telat kali, Ka. Kan gue kelaperannya tadi pagi!"

"Ya nggak pa pa, Al. Buat cadangan kalau lo laper malem-malem. Kan lumayan buat ganjel perut!" Azka tak kekurangan jawaban untuk dilontarkan pada cewek yang sedang duduk di belakang punggungnya.

"Emangnya gue tikus, suka laper malem-malem?!" teriak Alea sewot.

"Emangnya tikus aja yang suka laper malem-malem? Manusia juga bisa laper malem-malem kali, Al!" Azka menderaikan tawa kecil, menertawakan kalimatnya sendiri.

"Emang nyokap lo masih suka bikin kue?" Alea beralih topik. Bicara soal kue kering, tiba-tiba ia teringat pada ibu Azka yang konon mempunyai usaha catering. Ibu Azka menerima segala pemesanan kue basah, kue kering, kue ulang tahun, nasi kuning, nasi kotak, pokoknya segala sesuatu bernama makanan. Ibu Azka akan dengan senang hati memenuhi permintaan pelanggannya. Tapi, sejujurnya Alea belum pernah berkunjung ke rumah Azka apalagi bertemu dengan ibunya. Ia bahkan tak tahu di mana letak rumah cowok itu. Yang Alea tahu hanyalah ibu Azka memiliki bisnis catering, itu saja.

"Masih. Lo mau pesen? Bisa, kok. Lo tinggal bilang sama gue mau pesen apa. Tapi, lo mesti bayar DP 50%. Gimana?!"

Ampun nih, anak.

"Dasar." Alea mendesis pelan di balik punggung Azka.

"Al? Lo masih denger gue, kan? Lo nggak pingsan, kan?" Azka menoleh ke belakang sekilas dan menemukan seraut wajah ditekuk milik Alea di belakang punggungnya. Cowok itu menarik napas lega. Untung Alea masih sadar dan duduk dengan tenang di atas boncengan motornya.

"Enak aja!" Alea meninju punggung Azka dengan keras. Tak peduli cowok yang sudah menawarinya tumpangan itu akan merintih kesakitan karena pukulannya.

"Aww! Sakit, Al!" Azka meringis mendapat hadiah tinju dari Alea. Kalau saja ia tahu akan begini, mungkin harusnya Azka berpikir seribu kali sebelum menawari Alea tumpangan. Ini namanya air susu dibalas air tuba, bukan?

"Sukurin!" balas Alea puas. Cewek itu merasa senang bisa meninju punggung Azka yang mulutnya comel itu.

Tapi, si pemilik punggung memilih diam dan tak membalas pukulan Alea.

"Rumah lo masih di sini, kan?" Azka menghentikan motor vespa kesayangannya persis di depan pintu gerbang sebuah rumah berlantai dua yang didominasi warna krem, berpagar tembok putih, dan di halamannya tumbuh pohon sawo yang buahnya masih kecil-kecil. Azka sempat berpikir ingin meminta buahnya pada Alea suatu hari nanti. Dengan catatan jika buah sawonya sudah cukup matang dan layak konsumsi.

"Masih." Alea bergegas melompat turun dari atas boncengan vespa milik Azka begitu kendaraan yang mereka tumpangi berhenti. "Lo mau mampir? Minum barangkali?" tawar Alea yang kini sudah melupakan segenap kekesalannya pada cowok itu.

"Boleh minta makan sekalian nggak?" tanya Azka dibarengi dengan deraian tawa menggelegar.

"Dasar rakus!" maki Alea keras-keras. "Udah, lo pulang aja sono gih. Gue capek banget, nih." Cewek itu mengelap keningnya yang basah menggunakan punggung tangan.

"Ceritanya lo mau nawarin gue buat mampir atau ngusir gue, sih?" protes Azka bingung.

"Tadinya sih gue mau nawarin lo mampir, tapi nggak jadi. Dah..." Alea melambaikan tangan seadanya pada Azka lalu memutar tubuh dan segera meninggalkan tempatnya berdiri. Meninggalkan Azka yang masih manyun di atas vespa biru setengah butut miliknya.

Cowok itu menggeleng-gelengkan kepalanya saat menatap punggung Alea yang bergerak menjauh di balik pintu gerbang lalu sebagian tubuhnya menghilang tertutup pohon sawo. Dan setelahnya, Alea benar-benar tidak terlihat lagi tertelan pintu rumahnya.

Bahkan Alea lupa mengucapkan terimakasih pada Azka yang sudah repot-repot mengantarnya pulang dengan selamat sampai di rumahnya. Entah ia benar-benar lupa atau sengaja, Azka tidak tahu. Mungkin ia bisa menagih ucapan terimakasih dari Alea lain kali.

Setelah puas merutuki sikap cuek Alea yang tidak tahu cara berterimakasih, Azka kembali melajukan vespa biru setengah bututnya ke jalanan. Coba tadi Alea benar-benar serius mengajaknya mampir, pasti ia tidak kehausan parah seperti sekarang. Mungkin juga bisa melahap sepiring nasi atau apa saja sebagai pengganti bensin. Eh, tapi Azka kan dengan ikhlas memberi tumpangan pada Alea. Jadi, lupakan soal rutukan-rutukan tidak penting yang masih berkeliaran di dalam kepala Azka. Cowok itu tidak akan menagih apapun pada Alea sebagai balasan jasanya.

Gue Sayang Lo, Al! #tamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang