Bab 08

356 8 2
                                    

"Anak-anak sekalian ...," Pak Darman, bapak penyandang gelar Wakil Kepala Sekolah SMU Harapan, mulai bicara setelah mengetuk-ngetuk mic menggunakan jari telunjuknya, mungkin karena ia tidak yakin kalau mic yang sedang dipegangnya itu berfungsi dengan baik. "minta perhatiannya semua." Pria bertampang garang itu mengedarkan pandangan ke segenap penjuru lapangan upacara. Siswa-siswi SMU Harapan tampak riuh dan gerah pasalnya upacara bendera rutin yang diadakan setiap Senin pagi harusnya sudah selesai. Dan seharusnya mereka sudah membubarkan diri dan kembali ke kelas masing-masing, namun tertunda karena tiba-tiba saja Pak Darman muncul dan mengambil alih podium.

Raya dan Alea saling berbagi tatap ketika Pak Darman naik ke podium dan mengambil alih tempat itu. Tapi, yang mengejutkan kedua cewek itu adalah seseorang yang diseret naik dengan paksa oleh Pak Darman. Mereka sudah sangat akrab dengan sosok itu...

"Ya, ampun, Al. Bukannya itu Azka?" Raya mendesis pelan dan kembali menajamkan penglihatannya ke arah podium. Memang benar yang sekarang berdiri di sana adalah Azka. Cowok gondrong itu terlihat berdiri dengan pasrah di samping tubuh Pak Darman yang siap 'mengeksekusinya'. Tapi, Pak Darman tidak akan serta merta melakukannya tanpa menyertakan sekelumit ceramah. "Akhirnya dia ketangkep juga."

Alea tak ingin memberi komentar apapun selain mengedikkan bahu. Siapa sih, yang bisa lolos dari kejaran Wakasek?

"Kalian semua tahu peraturan di sekolah kita, kalau siswa laki-laki tidak diperbolehkan memiliki rambut panjang atau mengecat rambut. Tapi, kenapa masih ada yang berani melanggar?" Pak Darman mengerahkan segenap kemampuan berbicaranya di depan umum. Tak lupa, setiap gerak gerik yang ia tunjukkan sarat dengan wibawa. "Sekarang coba kalian lihat ini." Tangan Pak Darman menunjuk ke arah Azka yang terlihat tak berkutik di sebelahnya.

Terang saja seluruh perhatian siswa-siswi SMU Harapan lurus tertuju ke atas podium, lebih tepatnya pada sosok Azka yang beberapa minggu terakhir menjadi 'buronan' Wakasek. Dan bisa dipastikan seharian ini nama Azka akan menjadi bahan perbincangan di seluruh penjuru sekolah. Dalam sekejap ia bisa terkenal dan menjadi trending topic karena kasus pelanggaran yang dilakukannya.

"Ini adalah contoh negatif dari siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah. Dan seperti yang sudah kalian ketahui, setiap pelanggaran ada sangsinya, yakni poin. Jika ada seorang siswa melakukan banyak pelanggaran sampai mencapai angka 30 poin, maka pihak sekolah tidak akan segan-segan untuk mengambil tindakan tegas. Oleh karena itu, Bapak sangat berharap pada kalian semua agar tidak mencontoh perilaku negatif semacam ini juga perilaku-perilaku negatif lain. Alangkah baiknya kalian berlomba-lomba dalam hal positif dan prestasi. Begitu banyak kegiatan ekstra kurikuler di sekolah ini yang bisa kalian ikuti untuk menyalurkan bakat dan minat. Dan satu lagi, Bapak juga berharap hal seperti ini menjadi pelajaran bagi kalian dan tidak ada lagi yang melakukan pelanggaran yang sama. Apa kalian mengerti?"

"Mengerti!" Sahutan serempak terdengar dari segenap penjuru lapangan upacara.

Setelah selesai memberikan sambutan singkat, Pak Darman bergegas mengeluarkan sebuah gunting dari balik bajunya dan segera 'mengeksekusi' Azka.

Sejurus kemudian, potongan-potongan rambut Azka mulai berjatuhan ke atas lantai podium yang terbuat dari semen dan disaksikan oleh seluruh penghuni SMU Harapan. Cowok itu hanya tertunduk dan membiarkan rambut-rambutnya dipangkas Pak Darman.

"Mendingan abis gini Pak Darman buka salon. Bener, nggak?" Seseorang bercelutuk dari barisan belakang dan disambut deraian tawa yang lain. Entah siapa.

Alea tidak peduli. Cewek itu segera membubarkan diri dari barisan beberapa saat kemudian.

"Kak Angga dateng ke rumah gue kemarin," ungkap Alea kala ia dan Raya berjalan menyusuri lorong menuju ke kelas mereka.

"Oh, ya?" balas Raya pendek. "Terus?"

"Dia minta maaf sama gue karena akhir-akhir ini sibuk banget dan nggak punya waktu buat gue," papar Alea singkat.

"Itu bagus, dong. Itu artinya Kak Angga cinta sama lo," sahut Raya ikut berbahagia mendengar penuturan sobat kentalnya. Yang Raya tahu, Alea sangat mencintai Kak Angga. Cowok itu adalah cinta pertama Alea.

Kepala Alea mengangguk tak begitu kentara.

"Tapi ada sesuatu yang bikin gue khawatir, Ray." Alea menatap ujung sepatunya yang bergerak lambat di atas lantai keramik. Berkali-kali ia dan Raya harus mengalah pada anak-anak lain yang berjalan mendahului mereka.

"Khawatir gimana?" Kerutan samar tercipta di kening Raya sejurus kemudian.

"Gue nggak tahu," desah Alea terlihat pasrah. Nyatanya perasaan asing itu masih menghuni hatinya meski ia sudah mencoba menenangkan diri. Berusaha sekuat tenaga menghalau kekhawatiran tanpa sebab itu dengan mengingat sebaris kalimat permintaan maaf dari Kak Angga.

"Lo gimana, sih," gerutu Raya sambil mencebik kesal. Perbincangan itu seperti pusaran air, berputar-putar tanpa kejelasan. "Lo khawatir Kak Angga ninggalin lo, gitu? Atau lo takut terjadi apa-apa sama Kak Angga?" Akhirnya Raya hanya bisa menebak.

"Lo ngomong apaan sih, Ray?" Alea melotot tajam ke samping demi mendengar ucapan Raya yang membuat hatinya bertambah kalut. "Terjadi apa-apa, gimana maksudnya? Lo mau nyumpahin Kak Angga?" Nada marah jelas-jelas terdengar dari bibir Alea.

Raya mengedik. Enggan menjawab, berkomentar, atau sekedar mengeluarkan kata-kata. Alea jelas marah dan Raya tidak mungkin melanjutkan perbincangan itu. Atau situasinya akan bertambah runyam. Kadang-kadang Alea sulit untuk dimengerti.

"Lo udah beli kado buat Kak Angga?" Raya mengambil topik lain untuk dibahas ketika mereka tiba di kelas. Mumpung guru Biologi belum nongol di jam pelajaran pertama usai upacara bendera. Cewek itu meletakkan pantat di atas kursi kayu miliknya yang keras dan dipenuhi dengan corat-coret nama band papan atas negeri ini. Mungkin pemilik kursi itu dahulunya seorang pecinta musik sejati.

"Udah," sahut Alea yang sudah lebih dulu duduk dan sedang sibuk mengibas-ibaskan sebuah buku tipis di depan wajahnya. "Gue beli di online shop."

"Oh, ya? Lo beli apa buat Kak Angga?" tanya Raya antusias.

"Jaket."

"Selamat pagi, anak-anak! Bisa kita mulai pelajarannya sekarang?!" Bu Hasna, guru Biologi kelas mereka muncul sedetik kemudian. Memecah keriuhan kecil yang terjadi di dalam kelas Alea dan Raya. Perbincangan keduanya pun berhenti seketika karena pelajaran pertama mereka hari ini siap dimulai.

Gue Sayang Lo, Al! #tamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang