"Azka!"
Itu adalah teriakan ke-tiga yang keluar dari bibir Alea dan suaranya memenuhi setiap jengkal koridor yang sedang ia telusuri sekarang. Cewek itu setengah berlari mengejar langkah-langkah santai Azka yang sejak tadi sama sekali enggan menoleh padahal Alea sudah berupaya menghentikannya dengan teriakan demi teriakan.
Ups.
Azka kaget dan buru-buru menghentikan langkahnya di saat Alea menarik ujung tas ransel yang menggantung di pundak cowok itu. Wajah cowok itu langsung ditekuk begitu tahu Alea sudah berdiri di belakang punggungnya.
"Apa?" tanya Azka setengah hati. Lebih tepatnya ogah-ogahan.
"Lo tuh ya, dipanggil-panggil sampai tenggorokan gue sakit nggak nyahut. Sombong banget, sih," gerutu Alea dengan memasang wajah cemberut, menyaingi ekspresi Azka. Sebenarnya ia ingin sekali melayangkan sebuah pukulan ke atas pundak Azka seperti yang biasa ia lakukan selama ini, tapi demi mengingat kebaikan-kebaikan yang diberikan cowok itu padanya, Alea urung melakukannya. Lagi pula, ia masih belajar teknik dasar taekwondo. Bisa jadi, suatu hari nanti, Alea akan membanting cowok itu jika sikapnya benar-benar menyebalkan. Mungkinkah?
"Sombong apaan? Gue nggak denger," jawab Azka jutek. Cowok itu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda akibat ulah usil Alea.
Cewek itu melongo melihat tingkah Azka yang cueknya kelewatan. Bagaimana bisa seorang Azka yang selama ini bersikap bak superhero buatnya, tiba-tiba bersikap acuh tak acuh seolah Alea bukan seseorang yang penting. Memang Alea bukan siapa-siapanya Azka, tapi tetap saja cewek itu merasa aneh dengan sikap mantan 'preman sekolah' itu.
"Nggak denger gimana? Emangnya kuping lo udah nggak berfungsi?" cecar Alea sembari menjajari langkah-langkah Azka.
Azka menyunggingkan senyum tipis, tapi ia sengaja menyembunyikan wajahnya dari penglihatan Alea.
"Ada apa? Lo marah sama gue? Atau lo lagi bad mood parah?" Alea mencecar dengan tebakan-tebakan. Cewek itu sedikit kesulitan menyesuaikan langkahnya dengan Azka.
Bahu Azka mengedik.
"Marah? Ngapain gue marah sama lo? Gue nggak ada alasan untuk marah sama lo," tandas Azka masih dengan tatapan ke depan. Ritme langkah-langkahnya masih sama seperti sebelumnya.
"Terus ... kenapa lo diem aja tadi? Beneran lo nggak denger suara gue?" tanya Alea ingin memastikan. Karena perasaannya mengatakan ada sesuatu, entah apa itu, tapi sikap Azka benar-benar lain dari biasanya. "Lo ada masalah? Di rumah mungkin?" tanya cewek itu kemudian penuh dengan selidik.
"Nggak ada," sahut Azka datar. "Bukannya kelas lo ada di sana?" Azka menghentikan langkah dan menunjuk ke arah lain di mana kelas-kelas IPA berderet dengan rapi. Sedangkan mereka sedang berdiri di depan kelas Azka sekarang.
"Iya, tapi ...."
"Lo mau digangguin Rudi lagi?"
"Nggak."
"Terus? Kenapa lo masih di sini?" desak Azka dengan tatapan yang jika boleh Alea artikan, setengah mengintimidasi.
"Kenapa sih, gue merasa lo beda banget hari ini? Pertama lo dipanggil nggak nyahut, padahal gue teriak keras banget. Dan kedua lo ngusir gue. Ada apa sih sama lo, Ka? Kenapa gue merasa lo sedang menghindari gue?" Secercah kemarahan dan kecewa menyatu dalam sorot mata Alea. Azka memang bukan siapa-siapanya, tapi cowok itu tetaplah teman Alea. Dan Alea sangat menghargai setiap pertemanannya dengan siapapun.
Azka memutar bola matanya. Bukan untuk menghindari tatapan Alea, tapi ia sedang tidak ingin berdebat dengan siapapun, terlebih lagi dengan cewek itu.
"Mendingan lo sekarang masuk kelas, gih. Bentar lagi bel, Al." Azka mencekal pangkal lengan Alea, membujuk halus cewek itu agar segera kembali ke kelas dan mengakhiri percakapan mereka.
"Ka!" Alea menepis tangan Azka. "Lo kenapa sih? Gue yang terlalu sensitif atau lo emang udah berubah?"
Azka menghela napas panjang. Terkadang Alea keras kepala juga.
"Gue nggak berubah, Al. Gue tadi beneran nggak denger suara lo. Gue minta maaf ...."
"Nggak," gumam Alea dibarengi gelengan kepala. Mencoba mengingkari kesimpulan yang baru saja ia tarik sendiri. Bahwa Azka yang sedang berdiri di depannya bukanlah Azka yang biasa dikenalnya. "Lo emang bener-bener berubah," tandasnya penuh dengan keyakinan.
"Ya ampun, Al. Gue masih temen lo. Gue nggak berubah ...."
"Nggak." Alea memotong kalimat Azka, seolah tak ingin mendengar apapun yang akan dikatakan Azka. Cewek itu mundur selangkah, memutar tubuhnya lalu melangkah pergi dari hadapan Azka dengan tergesa. Setengah berlari tepatnya, menyusuri koridor dan sesekali menabrak pundak siswa atau siswi yang kebetulan berpapasan dengannya. Sementara itu dari tempatnya berdiri, Azka hanya termangu sembari menatap tubuh Alea yang bergerak menjauh dan sesekali hampir jatuh lalu menghilang di balik tikungan kelas. Ada segumpal penyesalan menghunjam dadanya. Kenapa ia mesti melakukan hal itu pada Alea? Andai saja ia bisa mengulang waktu, Azka ingin menyahut panggilan Alea tadi. Tapi kenapa separuh hatinya bersikeras untuk mengabaikan teriakan cewek itu, dan pada akhirnya Alea marah.
"Ke mana cewek lo tadi?" Suara Rudi yang mendadak terdengar menyapa telinga Azka, berhasil mengacaukan lamunan kecil cowok itu.
"Apaan sih lo? Minggir," usir Azka kesal. Pasalnya Rudi sudah berdiri di depan pintu kelas mereka sembari berkacak pinggang. Ujung lengan kemeja putihnya dilipat hingga ke atas dan topi bisbol yang menutupi kepalanya tampak sangat mengganggu penglihatan.
"Eh, lo lagi berantem sama cewek lo?" kejar Rudi penasaran. Ia mengekor langkah-langkah Azka sampai ke bangkunya yang berada di paling belakang.
"Bukan urusan lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue Sayang Lo, Al! #tamat
Teen FictionAlea mencintai Kak Angga dan mempercayai cowok itu sepenuh hatinya. Tapi kenyataannya Alea hanyalah orang ketiga dalam hubungan jarak jauh antara Kak Angga dan kekasihnya. Kak Alvin, kakak Alea, marah besar dan menghajar Kak Angga untuk membalaskan...