Bab 37

252 7 0
                                    

Ketika Alea membuka mata, ia menemukan Mama sedang duduk di dekat ranjangnya. Wanita itu tampak cemas dan sedari tadi ia terus menggenggam tangan Alea yang terbebas dari jarum infus. Sementara Papa tampak berdiri di belakang kursi Mama dan menyentuh pundak wanita itu pelan begitu tahu putri kesayangan mereka sudah sadarkan diri.

"Kamu sudah bangun, Al?" tegur Mama seraya mengusap kening putrinya dengan lembut. "Kamu di rumah sakit sekarang. Tadi kamu pingsan saat di sekolah. Kamu ingat, kan?"

Alea terdiam sesaat lalu mengangguk sejurus kemudian. Ia ingat, tadi ia sedang mengikuti upacara bendera dan tiba-tiba saja kepalanya seolah berputar hebat. Alea kehilangan keseimbangan tubuh hingga akhirnya cewek itu ambruk ke tanah. Dan selanjutnya ia tak ingat apa-apa.

"Alea kenapa, Ma?" tanya Alea dengan suara lemah. Kepalanya masih terasa agak berat.

"Nggak pa pa," Papa menyahut terlebih dulu. "Kamu cuma kecapekan. Istirahat beberapa hari juga sembuh."

"Iya, Al." Mama menambahi. "Kata dokter kamu harus istirahat selama seminggu ke depan."

"Seminggu?" Alea ingin memekik dengan keras, tapi tenaganya terlalu lemah. Cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya belum cukup untuk membuat energinya kembali pulih. Kedua mata gadis itu melebar. "Alea nggak mau di rumah sakit selama itu, Ma," rengeknya setengah memohon.

"Kamu tinggal di rumah sakit selama beberapa hari aja, kok. Selebihnya kamu bisa istirahat di rumah. Papa sudah minta izin ke sekolah untuk kamu," ucap Papa menenangkan hati putrinya.

"Papa bener, Al. Kamu nggak usah mikir apa-apa. Kak Alvin baik-baik aja meski di penjara. Kamu tahu kan, kakakmu itu kuat? Oh ya, satu lagi. Mama nggak mau kamu ikut latihan taekwondo setelah ini. Kamu ngerti?"

Alea melenguh pelan. Padahal ia sudah mengundurkan diri dari keanggotaan klub taekwondo beberapa hari yang lalu.

"Alea udah nggak ikut taekwondo kok, Ma."

"Bagus. Sekarang kamu makan dulu, gih. Setelah itu minum obatnya," suruh Mama sejurus kemudian.

Alea menuruti perintah Mama tanpa bertanya lagi. Ia memang butuh asupan makanan bergizi untuk memulihkan stamina tubuhnya yang menurun akhir-akhir ini. Bahkan Alea tak tahu jika tubuhnya bisa drop tanpa sebab. Apa terlalu banyak memikirkan sesuatu bisa membuat kondisi fisik seseorang menjadi lemah? Atau mungkin latihan taekwondo yang sangat melelahkan itu penyebabnya?

*** 

"Lo baik-baik aja, Al? Kata dokter apa? Lo sakit biasa, kan?" Raya berkunjung ke rumah sakit pada sore harinya usai mengikuti kelas bimbingan Matematika. Cewek itu meletakkan sekilo buah apel di atas meja lalu mencecar Alea dengan menunjukkan wajah khawatir. Ia menarik sebuah kursi kayu ke dekat ranjang milik Alea setelah berbasa-basi sebentar dengan kedua orang tua sahabatnya itu. Mama dan Papa Alea memilih untuk meninggalkan kamar putrinya agar ia bisa leluasa ngobrol dengan Raya.

"Gue baik-baik aja, Ray." Alea menyunggingkan senyum saat Raya meraih kedua tangannya. Ia sangat bahagia menerima kedatangan Raya kali ini. "Kata dokter gue cuma kecapekan aja. Dan gue mesti istirahat selama seminggu, Ray. Bete banget, kan?" keluh cewek itu mencurahkan isi hatinya. Ia sudah bisa membayangkan betapa bosannya tinggal di dalam kamar selama seminggu penuh. Karena Mama pasti tak akan membiarkannya keluar rumah selama masa pemulihan. Mama adalah tipe orang yang fanatik pada saran dan anjuran dokter.

"Biarpun bete, tapi tetep aja itu demi kebaikan lo juga, kan?"

Alea setengah mengangguk. Untung saja ia masih punya Raya yang setia menemaninya kapan saja. Tak peduli suka maupun duka.

"Apa anak-anak gosipin gue lagi?"

Bahu Raya mengedik.

"Gue nggak tahu. Kenapa?"

"Gue bete aja kalau seisi sekolah gosipin gue kayak dulu lagi, Ray. Nggak enak banget dengerinnya, tahu nggak?"

"Ngapain sih lo mikirin hal kayak gitu? Nyantai aja keles."

"Iya, sih. Gosip kayak gitu bakalan hilang dengan sendirinya. Paling juga nggak sampai seminggu. Tapi gue merasa aneh mendadak terkenal gara-gara pingsan dua kali, Ray." Alea memasang wajah cemberut parah. Membayangkan dirinya menjadi bahan gosip saja sudah membuatnya kesal, apalagi nanti kalau hal itu benar-benar terjadi.

Raya meledakkan tawanya namun cewek itu segera menutup mulutnya dengan telapak tangan demi mengingat jika ia sedang berada di rumah sakit sekarang.

"Bukannya menjadi terkenal itu menyenangkan?" kekeh Raya geli.

"Menyenangkan apanya?" sambut Alea setengah menggerutu. Ia nyaris lupa kalau di tangan kirinya menancap jarum infus saat ingin menimpuk pundak Raya.

"Dinikmati aja, Al. Nggak semua orang bisa mendadak terkenal kayak lo, kok. Oh ya, lo kenal nggak sama cowok tinggi, putih, gantengnya minta ampun? Kayaknya dia kenal sama lo, deh."

Pasti Dito, batin Alea. Ia memang belum bercerita pada Raya soal cowok itu dan kedekatan mereka.

"Dia Dito. Sepupunya Kak Angga," ungkap Alea berterus terang. Toh, pada akhirnya Raya harus tahu semua yang terjadi dalam hidup Alea. Tanpa terkecuali. Cewek itu tak bisa menyimpan rahasia terlalu lama dari Raya.

"Sepupunya Kak Angga?"

"Dia yang ngasih tahu gue kalau Kak Angga itu nggak baik buat gue. Tapi dia ngasih tahunya setelah kejadian itu, Ray. Nggak ada gunanya juga, kan?"

"Iya, sih. Tapi kenapa dia bela-belain ngasih tahu lo segala? Kak Angga kan sepupunya?"

Alea hanya mengedik. Ia malas melanjutkan perbincangan tentang Dito dan Kak Angga.

"Tapi Dito keren juga, Al. Kalau gue sih, mendingan sama Dito daripada Kak Angga." Malah Raya yang mengoceh sambil menerawang tak jelas.

Alea mencibir lucu melihat sobat kentalnya sibuk berkhayal.

"Mestinya tadi lo beliin gue bakso, Ray. Bukannya apel," keluh Alea mengganti topik pembicaraan. Ia melirik sekilas barang bawaan Raya yang ditaruh di atas meja.

"Udah gue beliin apel aja mestinya lo bersyukur, Al. Duit gue udah habis buat beli itu, tahu nggak?"

Alea terkekeh.

"Ntar gue bilangin sama Papa supaya nganter lo pulang. Tenang aja, okay?"

"Sip."

Gue Sayang Lo, Al! #tamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang