"Gue mau ikutan seleksi peserta olimpiade Matematika ... gimana menurut lo, Al?" Sepasang telaga bening milik Raya yang bersembunyi di balik bingkai kacamata, terlihat berbinar cerah saat menatap ke depan. Selembar kertas berisi pengumuman tentang seleksi peserta olimpiade Matematika tingkat SMU yang konon bakal digelar bulan depan, menyita habis perhatian cewek bertubuh langsing itu. Di antara sekian banyak lembar pengumuman menempel di papan mading SMU Harapan, hanya satu lembar itu yang paling menarik untuk Raya.
Sementara Alea hanya menatap sekilas ke arah lembaran artikel yang berisi berita kemenangan salah seorang siswa dalam kejuaraan atletik tingkat SMU, lalu beralih ke info seputar penerimaan anggota klub futsal yang merupakan bagian dari kegiatan ekskul SMU Harapan. Namun, sejurus kemudian beralih lagi pada lembar karya siswa yang berupa cerpen dan karikatur. Akan tetapi, sebenarnya Alea tidak terlalu fokus pada apa yang sedang dilihatnya. Bahkan suara Raya bak tertelan suara gerimis pagi di hari Senin yang membuat kegiatan upacara bendera resmi dibatalkan.
"Al, lo nggak mau dukung gue?" Raya menatap kesal ke arah Alea karena sobat kentalnya itu bahkan belum menyahut sama sekali. Padahal ia jelas-jelas ada di samping Raya.
"Hah? Apa? Lo ngomong apa tadi?" Alea tergagap dan langsung menunjukkan wajah bodoh pada Raya. Serentet pertanyaan keluar dari mulutnya demi melihat ekspresi galak Raya.
Raya mencebik. Tidak biasanya Alea 'nggak nyambung' saat diajak bicara.
"Lo nggak dengerin gue?" tanya Raya menginterogasi. Rasa kesal di dalam hatinya belum berkurang sampai detik ini. "Itu kuping masih berfungsi, kan?"
"Gue denger suara lo tadi, tapi nggak jelas ngomong apa. Gue keasyikan lihat-lihat artikel. Maafin gue ya, Ray," ucap Alea dengan mengembangkan seulas senyum termanis untuk meredakan gejolak kemarahan yang masih terlukis di wajah Raya. "Lo nggak marah, kan? Lo kan sobat terbaik gue," imbuh Alea lagi. Karena permintaan maafnya tak langsung mendapat respon, sehingga Alea harus mengeluarkan jurus keduanya, yakni memaksa Raya secara halus dengan memuji sobatnya itu.
"Dasar tukang gombal," desis Raya melihat tingkah Alea.
"Eh, lo tadi nanya apaan?" Alea bertanya tiba-tiba. Sengaja mengalihkan topik kembali ke semula.
"Gue mau ikutan seleksi peserta olimpiade Matematika, lo setuju nggak?" Raya menunjuk ke arah lembar pengumuman yang menempel di papan mading.
Kening Alea mengerut. Cewek itu bergegas menatap ke arah yang ditunjuk Raya. Kenapa pengumuman itu bisa terlewatkan olehnya tadi?
"Gue setuju, Ray," ucap Alea sejurus kemudian. "Dan gue yakin lo bisa lolos seleksi," imbuhnya demi menyemangati sobat kentalnya. Mengingat selama ini Raya tak pernah absen dari les Matematika dan ia memang jago dalam pelajaran itu. Bukankah ia masih punya segudang harapan untuk lolos seleksi?
"Beneran?" Raya setengah memicing mendengar komentar Alea. Dan sahabatnya itu hanya mengangguk. "Kalau gitu lo anterin gue nemuin Pak Darman buat daftar, okay?"
Alea setuju. Dan keduanya bergegas melangkah ke kantor Wakasek yang letaknya tak jauh dari papan mading untuk mendaftar.
"Yang daftar udah sepuluh orang, Al," ucap Raya usai menutup pintu kantor Wakasek dan menghampiri tempat Alea berdiri menunggu. "Ntar bakalan ada kelas bimbingan sebelum seleksi diadain," imbuhnya lagi.
"Gue yakin lo bisa kok, Ray. Semangat!" Alea mengacungkan kepalan tangannya ke udara sekadar memberi semangat pada sobatnya.
Raya hanya tertawa menyaksikan tingkah polah Alea yang sok imut. Ia bergegas menarik lengan Alea dan mengajaknya kembali ke kelas. Mentang-mentang upacara bendera dibatalkan karena gerimis, bukan berarti mereka bisa keluyuran ke mana-mana sampai lupa waktu, kan? Jam pelajaran pertama akan dimulai beberapa menit lagi.
"Ray ..., lo percaya nggak, kalau di dunia ini ada enam orang yang konon mirip dengan kita?" Alea membuka obrolan saat mereka berjalan beriringan menapaki lantai koridor. Persoalan di mal kemarin, nyatanya masih berkutat di dalam kepala Alea sampai detik ini. Padahal ia sudah bersusah payah mengusir sosok misterius yang mirip Azka dari dalam kepalanya, namun selalu gagal.
"Kenapa tiba-tiba lo nanya kayak gitu? Emangnya lo ketemu sama kembaran lo?" Bukannya menjawab pertanyaan Alea, Raya malah mencecar balik.
"Bukan," geleng Alea. "Tapi kemarin gue lihat orang yang mirip banget sama Azka ...."
"Masa sih?" Raya memotong tanpa permisi.
"Swear," sahut Alea dengan mengacungkan jemarinya hingga membentuk huruf V.
"Serius?" Sepasang mata Raya seketika membulat, mengekspresikan ketertarikannya pada pengakuan Alea. "Lo ketemu dia di mana?"
"Di mal. Emang sih, gue lihat dia dari jauh. Tapi dia mirip banget sama Azka. Cuma bedanya penampilan cowok itu lebih keren dari Azka."
Justru tawa yang keluar dari bibir Raya sejurus kemudian.
"Lo tuh, Al. Kirain lo ketemu langsung sama dia ... maksud gue lo hadap-hadapan sama tuh cowok. Eh, nggak tahunya cuma lihat dari jauh ...."
"Tapi dia beneran mirip banget sama Azka, Ray." Alea berusaha mati-matian meyakinkan sobatnya yang sudah terlanjur meragukan pengakuan cewek itu.
Raya mengembuskan napas panjang. Cewek itu berhenti dan menatap raut Alea yang terlihat tegang.
"Maksud lo ... cowok itu mirip banget sama Azka? Tuh orangnya," ucap Raya dengan dagu menunjuk ke seberang, di mana Azka sedang berjalan menuju ke kelasnya.
Alea segera mengangguk setelah melihat arah yang ditunjuk Raya dengan ujung dagunya. Persis, decaknya dalam hati. Cowok yang ia lihat kemarin di mal, sama persis dengan Azka yang kini sedang berjalan ke kelasnya. Gestur tubuh, cara berjalan, pokoknya mirip. Cuma beda pada penampilan doang.
"Kenapa lo nggak tanya langsung sama orangnya? Kemarin pergi ke mal atau nggak." Raya memberi saran, namun segera mendapat penolakan berupa gelengan kepala dari Alea. "Kenapa? Bukannya lo penasaran banget, cowok yang lo lihat kemarin Azka atau bukan? Apa salahnya mastiin?"
"Buat apa?" Alea setengah menggumam.
"Ya ampun, Al." Raya menepuk jidat dan mengembuskan napas kesal ke arah samping.
"Masalahnya kemarin gue ngejar cowok itu sampai ke parkiran mobil, Ray. Mungkin nggak, kalau Azka yang kita lihat sesederhana itu ...." Alea memutus kalimatnya dengan sengaja karena tak tega menuduh Azka sebagai orang tak punya.
"Maksudnya, Azka yang kelihatan miskin itu sebenernya orang kaya? Punya mobil, gitu?" lanjut Raya menebak. Ia sudah bisa membaca isi pikiran Alea. "Uhmm ... gue rasa lo salah lihat, Al. Lagian lo lihat cowok itu dari jauh, kan? Beda ceritanya kalau lo berhadapan sama dia secara langsung," ucap Raya mengemukakan pendapatnya.
"Tapi kenapa cowok itu mirip banget sama Azka?"
Raya mengedikkan kedua bahunya.
"Yuk balik ke kelas," ajaknya sejurus kemudian. Mengingatkan Alea bahwa tujuan utama mereka adalah kembali ke kelas dan bukan membahas soal Azka yang bagi Raya tidak penting. Sama sekali!
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue Sayang Lo, Al! #tamat
Teen FictionAlea mencintai Kak Angga dan mempercayai cowok itu sepenuh hatinya. Tapi kenyataannya Alea hanyalah orang ketiga dalam hubungan jarak jauh antara Kak Angga dan kekasihnya. Kak Alvin, kakak Alea, marah besar dan menghajar Kak Angga untuk membalaskan...