"Lo?!" Alea nyaris memekik begitu melihat sesosok tubuh memasuki kamarnya tanpa suara. Saat itu ruangan yang ditempati Alea sedang sepi karena Mama dan Papa pamit pulang setengah jam yang lalu untuk mandi serta mengambil beberapa helai pakaian. Kata dokter, minimal Alea harus tinggal selama tiga hari di rumah sakit, selebihnya ia bisa istirahat di rumah.
Cowok berwajah tampan itu langsung mendekat lalu meletakkan sebuket bunga mawar putih di atas meja, persis di sebelah buah apel pemberian Raya.
"Kamu baik-baik aja?" tegur Dito setelah menempati kursi kayu yang tersedia di samping ranjang Alea.
Cewek itu tak segera menjawab. Ia masih butuh beberapa detik lagi untuk sembuh dari keterkejutan. Bagaimana Alea tidak terkejut, kalau tiba-tiba saja Dito datang menjenguknya di saat ia sedang sendirian seperti sekarang? Duh, padahal ia sedang menghindari cowok itu dan kalau bisa Alea lebih memilih untuk tidak bertemu dengan Dito.
"Kenapa ke sini?" tanya Alea setengah menghardik.
"Untuk melihat keadaan kamu. Aku khawatir, Al."
Ah, Alea hampir saja larut dalam keharuan ketika mendengar kalimat Dito. Dulu Kak Angga juga kerap melempar kata-kata manis semacam itu, tapi kali ini Alea tidak akan terhanyut dalam bujuk rayu yang sama.
"Lo udah lihat kan, kalau gue baik-baik aja? Sekarang lo bisa pergi dengan tenang ...."
"Al." Dito menukas kalimat kasar yang terlontar dari bibir cewek itu. "Aku datang baik-baik dan haruskah kamu bersikap seperti itu sama aku?"
Alea bergegas membuang tatapan ke arah lain ketika pandangan mereka bertemu. Tatapan Dito mengartikan banyak hal dan Alea enggan untuk menyelaminya lebih jauh.
"Aku nggak minta kamu untuk membalas perasaanku," tandas Dito sesaat kemudian. Kediaman Alea ia manfaatkan semaksimal mungkin untuk mengungkapkan segenap perasaan. "Aku cuma ingin mastiin kalau keadaan kamu baik-baik aja."
"Sekarang kamu udah lihat kan, kalau aku baik-baik aja?" balas Alea dengan ketus. Sikap kasarnya mengingatkan Dito pada Alea yang baru pertama kali dikenalnya di halte.
"Ya, aku seneng lihat kamu baik-baik aja."
"Terus kenapa kamu masih di sini?"
"Apa kamu masih marah sama aku?" tanya Dito. Pandangan matanya menelusuri setiap lekukan yang terpahat dengan sempurna di wajah Alea. Ia menangkap sisa-sisa kemarahan tergambar jelas di sana.
Alea membuang napas kesal. Selain marah, ia juga merasa kesal pada Dito. Seharusnya ia tak pernah menjalin pertemanan dengan cowok itu, tapi Alea hanya bisa meratapi penyesalan sekarang. Ia dan Dito sudah terlanjur akrab bahkan cowok itu menyatakan perasaannya.
"Aku emang seseorang yang hadir setelah Kak Angga," ucap Dito mengusik kebisuan yang tercipta di bibir gadis yang masih menyimpan kemarahan untuknya itu. "Aku sayang kamu, Al. Aku udah pernah bilang itu, kan? Apa hanya karena aku sepupu Kak Angga lantas kamu berpikir kalau kami sama?"
"Terkadang seseorang yang awalnya nggak pernah kepikiran untuk menyakiti orang lain, pada akhirnya akan menyakiti orang lain, Dit. Itu bisa terjadi tanpa diduga dan nggak bisa direncana. Situasi yang memaksa seseorang itu menyakiti orang lain. Ngerti?"
Dito mengulum senyum tipis. Pemikiran Alea tidak salah. Seseorang yang pernah tersakiti cenderung akan melindungi dirinya lebih dari apapun juga.
"Aku nggak pernah berharap situasi itu akan datang padaku," tandas Dito. Dan kalimatnya ditanggapi senyum miring oleh Alea.
"Kamu bener-bener bandel, Dit," desis Alea.
"Kamu?" Dito mengerutkan kening seketika saat mendengar satu kosakata asing keluar dari bibir Alea. Ia bilang 'kamu'? Lalu ke mana hilangnya kata 'lo'?
Alea terenyak begitu sadar kesalahan yang baru saja terlontar dari bibirnya. Ia merutuk dalam hati demi satu kata 'kamu'.
"Maksud gue ..."
"Aku nggak masalah kamu mau bilang lo-gue atau aku-kamu, kok. Yang penting kamu nyaman aja," ucap Dito penuh percaya diri.
"Bukan itu," sahut Alea dengan wajah memanas. Ia benar-benar keceplosan tadi. "Gara-gara lo sih, Dit. Gue jadi ikut-ikutan bilang kamu-kamu," gerutu cewek itu dengan perasaan malu tiada tara. Ya ampun, kenapa ia bisa jadi bego begini, sih?
Tawa renyah meledak seketika di bibir Dito. Meski sedang terbaring di atas tempat tidur dengan selang infus terpasang di tangannya, Alea masih terlihat cantik. Wajahnya tak lagi sepucat tadi.
"Kamu mau makan sesuatu?" tawar Dito mengganti topik perbincangan. Ia sedikit menyesal membawakan Alea bunga. Harusnya ia membawa makanan untuk cewek itu bukannya bunga. Bunga mana bisa dimakan? "Aku bisa beliin kamu makanan."
"Nggak usah, Dit," cegah Alea. Perlahan kemarahan yang sempat terlukis di wajahnya memudar. Suasana hatinya mulai mencair. "Gue sedang makan sekarang."
"Makan? Makan apaan?"
"Ini." Alea menunjuk tabung infus yang menggantung di atas kepalanya.
"Astaga," desis Dito sambil menepuk jidat. "Aku pikir makan apaan, Al."
"Gue udah makan, Dit. Tadi makan makanan rumah sakit," jelas Alea demi melihat Dito yang tampak konyol terkena gurauannya.
"Kali aja kamu masih lapar. Aku bisa beliin kamu sesuatu di luar. Makanan rumah sakit kan hambar."
"Nggak usah, Dit. Thanks. Lo aja yang makan. Lo belum makan, kan?"
Dito terdiam. Sepulang sekolah tadi ia memang belum sempat makan dan pulang ke rumah karena sibuk mencari informasi keberadaan Alea.
"Ya," angguk Dito akhirnya.
"Lo pulang aja. Udah sore, Dit," suruh Alea kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue Sayang Lo, Al! #tamat
Teen FictionAlea mencintai Kak Angga dan mempercayai cowok itu sepenuh hatinya. Tapi kenyataannya Alea hanyalah orang ketiga dalam hubungan jarak jauh antara Kak Angga dan kekasihnya. Kak Alvin, kakak Alea, marah besar dan menghajar Kak Angga untuk membalaskan...