Bab 23 - Menuju Kebaikan

42.8K 5.1K 655
                                    

Ketentuan Allah kadang mengajarkan manusia berusaha melakukan apa yang bertolak belakang. Namun ada kejutan tak disangka setelahnya.

~Pangeran Hati~

***

Diam-diam Danu memperhatikan tiga anggota keluarganya yang sedang berdebat. Namun ia memilih sembunyi di kamar, bukan pengecut tapi ia paham sekali karakter mereka. Oleh karena itu saat Iqbal meninggalkan rumah Danu diam-diam mengikuti. Sampai di sudut jalan yang sepi, Danu memanggil abangnya.

"Bang."

Iqbal tidak berhenti melangkah. Langkah kakinya malah semakin menburu. Pikirannya memasuki masa lalu, teringat saat ia sakit gigi. Ketika itu Aminah mengandung Danu, sehingga Lukman yang menjaga. Lukman merawat sampai tidak tidur. Sampai-sampai kiai pesantren itu mengatakan lebih baik dia yang sakit ketimbang melihat Iqbal gulung-gulung kesakitan. Perkataan adalah doa, esoknya Lukman sakit gigi.

Selain pengorbanan itu, Iqbal juga ingat cerita sang umi. Sebelum pesantren sebesar saat ini abi pernah tidak pulang beberapa hari mencari kayu di hutan untuk pembangunan. Kerja ke sana ke mari, serabutan di pasar, pindah rumah, dan lain sebagainya. Atas kebaikan Allah dengan usaha Lukman keluarga mereka kini berkecukupan.

"Abang!" Suara Danu naik satu oktaf. Ia berdiri di depan sang kakak. Mengikuti langkah panjang Iqbal membuatnya lelah.

Mata Iqbal menatap Danu tajam.

"Balik, Bang. Pulang lagi." Perlu diketahui ketika ada orang kecewa mereka tidak ingin disalahkan, tetapi dimengerti dan diberi jalan keluar. Menyalahkan sama saja mengarahkan orang tersebut ke jalan buntu.

"Buat apa kalau kita gak dihargai?"

Danu berlari memgambil motor metic yang ia parkirkan tidak jauh dari posisi mereka. "Bonceng Danu yuk. Jarang-jarang Danu ngebolehin orang bonceng motor metic kesayangan. Nanti Danu traktik makan siomay."

Iqbal mengikuti ajakan sang adik. "Habis nyobet di mana?"

"Astghfiruallah, muka tampang ustaz gini dibilang nyobet, gak sekalian ngepet?"

Lelucon Danu membuat Iqbal terkekeh, tidak mood ketawa. "Jangan bawa aku pulang. Capai hati capai pikiran."

"Oh siap, Pak Dokter."

Seharian mereka keliling kota lewat pinggir, maksudnya menghindari lewat jalan raya supaya tidak dikasih surat kasih sayang polisi. Berubung Iqbal tidak membawa dompet, ia menerima traktiran Danu berupa siomai dua ribu rupiah, soalnya lelaki itu hanya membawa uang bergambar sosok Dr. K. H. Idham Chalid yang dulu gambar Imam Bonjol.

"Bang Danu sering kesepian kalau di rumah. Abang pulang ya. Nanti kalau Abang gak mau nikah biar Danu aja," ucapnya enteng tanpa beban.

"Bocah ngawur! Nikahin cewek itu gak semudah beli cimol."

"Kalau Abi bilang iya, Danu percaya itu pilihan terbaik. Abi kalau ngambil keputusan gak cap cip cup kembangkucup, tapi melalui doa panjang. Apalagi ceweknya Anza. Idaman itu, Bang."

Alih-alih merespon, Iqbal malah menunduk menginjak rumput tidak berdosa.

"Udah mau hujan. Yuk pulang. Masalah Anza gampang ada Allah hehe..."

Kesadaran Iqbal muncul mendengar solusi Danu. Adiknya mulai bisa diandalkan. Seketika ia tersenyum menaiki motor berwarna pink milik Iyan Danugraha.

Umi masih menangis dikala Iqbal dan Danu memasuki rumah. Abi sudah tidak di sana.

"Ya Allah, Iqbal. Kenapa kamu lakukan ini sama, Abi?"

Kalau Iqbal egois, ia akan menjawab dia tidak salah. Dia memiliki hak membangkang. Namun urung dilakukannya. "Maafkan Iqbal, Umi."

Telunjuk Iqbal menghapus air mata Aminah. "Umi jangan nangis ya. Iqbal khilaf."

"Temui Abimu sekarang. Minta maaf sama beliau."

"Siap, Umi," jawab dokter umum itu sambil tersenyum hingga tampak lesung pipi manisnya. "Di mana Abi?"

"Kamar salat."

Rumah Iqbal memiliki ruang salat, biasanya digunakan anggota rumah untuk salat malam atau salat sunah yang lain.

Belum Iqbal beralih posisi, Lukman muncul membawa mushaf Al-Quran. Iqbal mendekat, menyalami tangan Lukman. "Bi maafkan Iqbal."

Danu berdiri hendak menepati perkataannya. "Bi, Danu akan meni-"

Iqbal menyambung cepat. "Menikmati hari-harinya sebagai jomlo, semantara Iqbal bersedia menikahi Anza."

Sore itu suasana rumah berubah membaik. Kondisi kesehatan Iqbal juga pulih. Besok pagi ia akan kembali ke Desa Gua. Arsa sudah merengek seperti itik kehilangan emaknya.

Anza
Mas Iqbal sudah sehat?

Ketahuilah saat Anza mengetik itu lalu menunggu jawaban hatinya berdebar tidak karuhan. Panggilan Mas baginya sangat romantis. Ia dulu sering mendengar bundanya memanggil Syatif demikian.

Iqbal
Alhamdulillah baik, Dik.

Dik? Iqbal memanggil Anza Dik. Masyaallah, bagaimana Anza menahan jantungnya tidak loncat dari tubuh?

Anza
Alhamdulillah. Besok kembali ke desa?

Iqbal
Iya. Adik jaga kesehatan ya.

Anza
Iya. Mas juga. Kegiatan semakin padat.

Iqbal
Jangan sakit, sakitmu melukai hariku

Entah bagaimana lagi Anza harus mengatur jantungnya. Sudahlah tenggelam di rawa-rawa saja. Jatuh cinta membuat pikiran jernihnya tidak berlaku lagi. Ia rasa hormon dopamin menjalankan perannya dalam menghadirkan energi besar, kegembiraan, dan meningkatkan aktivias mental.

***

Sedikit aja takut kubu Iqsya mencak-mencak hihi...

Jangan lupa baca Al-Quran.

Allah selalu menyayangi kita

Mel~

Pangeran Hati [Sudah diSerieskan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang