Bab 29 - Akar Masalah

42.4K 5.2K 370
                                    

Gak ada quotes. Lagi gak semedi hehe

***

Acara ditutup dengan pesta petasan. Syarif tidak tahu kalau ada acara tersebut, kalau saja ia tahu setelah Syanum turun dari panggung ia akan mengajak pasiennya pulang. Keganduhan itu membuat Syanum menggigil. Cepat-cepat Syarif mengajaknya pulang. Selama perjalanan mimik wajah Syanum berubah ketakutan. Ia menggigiti jari.

Dalam bayangan Syanum ada seorang wanita bersimbah darah, lalu ada lelaki yang membawa pistol. Dari pandangannya, lelaki itu terus mendekati Syanum hingga ia menghantam tembok. Bayangan itu hilang, bergantian dengan sosok bocah laki-laki berlarian bersamanya. Ia mengunakan pakaian seragam. Mereka saling berebut buku berkisah 25 nabi. Sosok pria dewasa itu datang lagi, melempar Syanum ke ranjang sangat keras seolah ada yang patah. Si pria mencabuk mengunakan ikat pinggang. Kemudian bayangan itu tiada.

Syarif bisa bernapas lega berhasil membawa Syanum pulang. Namun, ada kekhawatiran setelah ekspresi ketakutan itu pergi. Syanum ketawa, menangis, marah dalam waktu bersamaan.

"Prof, apa Syanum ba—" kalimat tanya Iqbal terpotong begitu menyaksikan mimik wajah Syanum.

"It, itu mimik wajah yang membakar mobil kemarin," adu Arsa. Ia menyembunyikan diri di balik tubuh Iqbal, berpikir bisa mimikri karena pakaiannya senada dengan warna baju milik temannya. Arsa bergidik mengingat sumpah serapah sisi lain Syanum kemarin. Dugaanya benar, gadis itu kini memandang tajam mata Arsa.

"Hai kamu. Cowok pentolan pencil. Kepalamu gundul kayak bula dunia! Rambutmu kritik ditambah ayam hidup di atasnya jadi mie ayam. Pipimu tembem kayak bakpau. Gigimu maju kayak punya kelinci."

Sebenarnya Iqbal ingin tertawa, tapi takut dosa. Lagian bukan waktu tepat untuk bercanda. Prof Syarif tidak terlalu kaku, tetapi apabila orang lain tidak bisa menempatkan respon sesuai keadaannya beliau bisa marah besar. Saatnya bercanda ya bercanda, serius ya serius. Dilarang keras bermain-main ketika menghadapi pasien darurat.

"Berikan suntik penenang!" perintah Syarif kepada Iqbal. Di sekeliling ruang tengah ada 3 penjaga menyiapkan diri kalau-kalau Syanum membuat keganduhan.

"Iqbal gue takut," bisik Arsa masih memegang erat baju Iqbal.

"Migir ah, nanti dimarahin Proffesor mau?"

Dia menggelang sambil perlahan melepaskan pegangannya.

Syanum meronta, menolak disuntik. Ia sempat lepas dari pegangan Syarif. Namun akhirnya kalah kuat dengan tiga penjaga. Arsa? Mumper di kolong meja. Akan ditaruh di mana wajah sok gantengnya kalau Hifza tahu seorang Arsa Syakur Saputra penakut.

Syarif menyutik sang pasien.

"Aaaa... Lepasin gue! Gue butuh cerita sama orang tetang kekejaman Satoro! Lepasiiin!!! Lepasiiin gue!!!" teriaknya. Kalau dilihat karakternya sebelas dua belas dengan Insyra.

Iqbal paling tidak setuju kalau tubuh Syanum dikuasai Insyra. Dia ingat sekali bagaimana pancaran mata Insyra. Apalagi ketika gadis itu menatapnya. Kejadian terakhir sebelum Syra menghilang adalah ... Ia menyatakan cinta kepada Iqbal. Kalau dia Insyra kenapa seolah tidak mengenal Iqbal? Jelas itu bukan Insyra, tetapi kepribadian baru. Sayangnya, untuk kepribadian yang satu ini tidak bisa berdamai dengan siapapun.

Setelah Syanum tidak sadarkan diri, Syarif meminta penjaga keluar rumah. "Saya harus pulang, Arsa tolong kamu awasi Syanum 24 jam. Nanti saya izinkan pak RT kalau kamu menginap di sini sampai saya kembali."

Mata Arsa melirik Iqbal. "Iqbal?" maksudnya, kenapa hanya dia yang ditunjuk? Padahal Iqbal lebih segala-galanya dibanding dirinya. Tidak bisa dipercaya kalau Syarif lebih mengandalkan seorang Arsa daripada Iqbal Danugraha.

"Ada acara sama saya."

Arsa menyipitkan mata. Apa Iqbal? Kamu anggap apa gue selama ini sampai gue gak tahu apa-apa tentangmu. Padahal kita bersama hampir 2 bulan.

"Lamaran resmi," lanjut Syarif seraya merapikan alat kesehatan. "Saya harus ke kota sekarang. Anza bilang kesulitan menyiapkan hidangan."

"Iya, Prof," jawab Arsa. Sebagai teman baik, lelaki itu turut berbahagia. Tidak merasa dengki sedikit pun. Sebab orang yang memiliki rasa dengki akan memiliki kesedihan yang berkepanjangan. Arsa bukan tipe lelaki menye-menye gagara cinta. Dicintai orang gila saja ia tetap tabah dan bertahan hidup sampai sekarang.

"Kamu pulang kapan?"

Iqbal tersenyum. "Mungkin besok pagi, Prof. Saya harus beres-beres."

"Jangan panggil prof lagi dong. Panggil ... Pa, papa," celetuk Arsa mengundang kekehan dokter Syarif.

"Arsa benar, Bal."

Iqbal malah nyengir kuda. "I ya."

***

Pukul 14.00 tepat, Arsa yang selesai berenang guna merefresh pikiran tercenggang melihat Syanum duduk di kursi tepi kolam. Hendak menegur, takut bukan Syanum. Atas nama Allah Yang Maha Esa, dia memberanikan diri mendekati gadis tersebut meski mengunakan handuk. Dada bidangnya masih basah terkena air. Jangan lupakan kebiasaan Arsa, yang jelas membentuk otot perut mirip roti sobek.

"Hahahaha.... Hihihihi..." Tiba-tiba Syanum ketawa seperti suara horor kuntilanak. Kulit Arsa meremang, ia lari terbirit-birit masuk ke dalam. Arsa sempat terpeleset karena kakinya masih basah. Syukur, tangannya masih bisa mempertahankan agar tidak jatuh ke lantai dengan berpegangan bibir pintu.

Ia meraih ganggang telepon. Mengetik nomor rumah yang ia diami. "Tolong! Tolong!" teriak Arsa membuat para penjaga berlari menuju sumber suara.

"Syanum kesurupan kuntilanak." Jari Arsa menelunjuk ke kolam renang. Ketiga penjaga langsung mengikuti arahan Arsa. Tidak lupa berdoa, sebenarnya mereka juga takut.

"Lo ngomong apa sih, Sa?"

Ternyata telepon sudah terhubung sejak tadi.

"Bal, gue bener-bener angkat tangan. Gak sanggup jagain Syanum. Plis gue minta tolong lo bantuin gue hiks... Hiks... Hiks..."

"Lo nangis?"

Hening. Hanya ada suara tangisan. Dasar Arsa! Payah! Badan gedhe, nyali ciut.

"Ok gue ke sana."

Sepuluh menit kemudian kaki Iqbal sudah menginjak halaman rumah. Baru ingin menghubungi sang umi, Syanum berteriak-teriak.

"Lepaskan dia!" Suara Iqbal berhasil membuat ketiga penjaga melepaskan genggaman tangan. "Saya yang akan berbicara dengan dia."

"Bagaimana kalau dia melukaimu?" tanya salah satu dari mereka.

"Saya akan baik-baik saja." Mata Iqbal tertaut pada satu garis lurus dengan mata Syanum. Mata itu menggambarkan luka, kepedihan, dan kekecewaan yang siap dibagikan kepada siapa saja yang peduli.

Dengan perlahan, Iqbal mendekati Syanum yang masih diam membeku. Semula tatapan gadis itu penuh duka, kini berubah bersinar penuh harapan.

Kaki Syanum mengikuti langkah Iqbal menuju pendopo.

"Dari semua kepribadian Syanum. Hanya aku yang ingat kejadian masa lalu. Hanya aku yang tersiksa dengat itu." Tanpa diminta kepeibadian lain Syanum bercerita.

"Siapa namamu?"

"Anum. Itu panggilan kecil Syanum."

Sore itu, hingga ba'da ashar Anum menceritakan semuanya.

***

Maaf baru up.

Vote seribu lanjut ya hehe... Biar gak kejar tayang

Jangan lupa al-kahfi

Mel~

Pangeran Hati [Sudah diSerieskan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang