Allah tidak pernah mengekang makhluk-Nya, selalu ada kebaikan dibalik hukum Islam melarang suatu hal.
~Pangeran Hati~
***
Pukul tujuh kurang dua puluh Anza memasukan beberapa alat kedokteran yang belum ia bereskan. Tadi malam 5 orang tetangga meminta tolong mengecekan tekanan gula darah. Hari ini harusnya ia lebih pagi sampai rumah sakit daripada biasanya. Karena banyak pasien masuk dengan kasus demam berdarah. Ia harus bekerja ekstra keras, Wanda jatuh sakit bahkan sempat opname. Syukur ada 3 koas yang membantunya.
"Bismilaahi tawakkaltu 'alallahi wa laa hawla wa laa quwwata illaa billaahi," doanya ketika mengunci pintu rumah. Sudah tiga hari ia di rumah sendiri, meski begitu saat waktu luang Syarif sering menelepon. Tidak seperti Iqbal yang susah sekali dihubungi. Sebagai wanita, Anza sabar saja. Ia percaya calon suaminya tidak macam-macam.
Seorang berjaket orange, sebagai identitas tempatnya bekerja menekan tombol bel yang ada di depan gerbang. Anza pun menemuinya terlebih dahulu.
"Ada paket, Kak," katanya sambil menyerahkan map cokelat. Kemudian Anza menandatangani tanda terima di layar ponsel kurir. Canggih juga zaman sekarang. Semua serba bisa dan diakses dengan mudah. Sepeninggal si bapak, Anza membuka kantong plastik lalu membaca pengirimnya. Ia kira tadi barang endorse, tapi setelah membaca barang kirim ternyata foto. Dahinya mengerut, ia tidak memesan polaroid. Managemennya juga tidak bilang kalau ada barang datang berupa foto. Sangking penasarannya, Anza menunda keberangkatan.
Ada empat foto menampilkan kebersamaan Iqbal dan Syanum. Semuanya terlihat mesra. Entah si pemotret yang pandai mengambil sisi atau memang begitu adegan sebenarnya.
Foto pertama ada di sebuah taman villa, jelas itu villa Syanum menginap. Iqbal berjalan di depan Syanum, tangannya seolah terulur mengajak Syanum berpegangan tangan. Keduanya tersenyum. Persis foto preweeding. Foto kedua, mereka sedang membaca buku di tempat yang sama hanya beralaskan tikar kecil. Iqbal seolah menunjukan sesuatu kepada Syanum yang ada di dalam buku, tetapi gadis itu bukannya melihat halaman buku jutru menatap wajah Iqbal. Foto ketiga, Syanum dan Arsa tampil di suatu acara. Foto keempat, Iqbal mengimamin gadis itu di sebuah kamar salat. Anza ingat itu salah satu ruangan kediaman Syanum.
Selama melihat foto-foto tadi ada yang remuk redam di dalam sana. Ada hati yang seolah dipotong-potong mengunakan pisau secara sadis. Ia membalik lagi siapa pengirim foto. Berusaha menelepon nomor yang tertera, tetapi nilih. Nomor tersebut tidak aktif.
Notifikasi ponsel Anza berbunyi, ia lupa belum disenyapkan. Email masuk dari abraham@train.com. Anak Syarif itu menyibakan jilbab pasmina seraya menunggu video terdownload.
Walaupun hatinya tidak karuhan, Anza harus bersikap profesional. Kakinya berjalan menuju mobil, banyak pasien menunggunya. Terbukti dengan salah satu koas yang sejak tadi tidak berhenti menghubungi.
Perjalanan menuju rumah sakit membutuhkan waktu 15 menit, itu pun kalau tidak macet. Anza menyempatkan mengirim pesan kepada Iqbal. Tentu saja ia tidak mendapatkan jawaban secapat yang ia inginkan.
Anza
Mas Iqbal, kamu gak ngapa-ngapain di sana kan?Baru sampai kompleks depan, seorang lelaki menghentikan mobilnya. Dia dokter Hanan, dokter spesialis bedah syaraf yang bekerja di rumah sakit tempat Anza menempuh pendidikan.
"Boleh saya numpang? Ada operasi. Saya nunggu taxsi online gak datang-datang. Mobil saya rusak."
Awalnya Anza keberatan. "Dokter pakai ojek online saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Hati [Sudah diSerieskan]
SpiritualKehidupan dokter muda Iqbal Danugraha awalnya lurus-lurus saja. Terlebih, dia menyukai seorang wanita muda yang juga berprofesi sebagai dokter spesialis anak, Alanza Quianne. Namun, sejak pertemuan secara tidak sengaja dengan Syanum Fazila, kehidupa...