Cinta butuh untuk diberi kepastian sebuah ikatan. Bukan hubungan yang melanggar aturan Tuhan.
~Pangeran Hati~
***
Hifza mendekati Arsa yang tengah memasukan alat kesehatan ke almari steril. Ia mendorongan kursi roda yang tadi ia gunakan untuk mengantar pasien sampai depan puskesmas.
"Ehem," dehemnya.
Automatis Arsa menoleh, alisnya naik satu. "Iqbal gak ada." Ia langsung menyimpulkan kalau anak Pak Mantri tersebut mencari pujaan hati.
"Hah?"
Arsa mencuci tangan usai melakukan pekerjaannya. "Iqbal baru sampai beberapa menit yang lalu. Sekarang palingan di rumah Syanum. Kesimpulannya dia gak ada di sini. Mau lo cari di kolong brankar juga gak ada."
Bibir Hifza manyun. "Syanum yang tinggal di vila mewah itu ya?"
"Iya." Sekarang Arsa duduk di kursi putar. "Anda ada keperluan lagi? Kalau tidak silakan keluar. Pintu terbuka sangat lebar." Arsa kesal sekali, selama Iqbal tidak di puskesmas gadis itu rajin mendatangi ruangannya dengan berbagai modus.
"Ck," decak Hifza seraya memutar bola mata malas. "Dasar gak peka!"
"Hah, maksudnya?" Arsa tidak terima dikatai Hifza. Enak saja, memangnya dia siapa bisa bilang tidak peka.
"Selama ini cowok yang gue suka tuh elo. Bukan Iqbal. Kalau gue deketin Iqbal itu cari cara gimana biar gue tahu tipe cewek lo. Gue kira cowok muka playboy kayak lo ahli dalam menerka perasaan perempuan ternyata sama saja." Hifza pernah kuliah di Jakarta makanya dia fasih ber elo-gue.
Otak Arsa dapat menyaring cepat kalimat Hifza. Sementara gadis itu pergi begitu saja dengan muka masam. Ada ya yang suka sama gue? Kaki Arsa beranjak ke cermin kecil yang tergantung di dekat tempat cuci tangan. Wajahnya lumayan bersih, meski ada bintik hitam bekas jerawat. Mau bagaimana lagi, ia pernah mencoba berbagai masker alami. Dulu ketika kuliah semester tiga, Arsa pernah mengunakan masker bahan kunyit, tetapi paginya ia menjadi bahan lelucon teman sekelas karena wajahnya kuning seperti minion. Alhasil sekarang ia hanya mengunakan sabun pencuci muka yang aman dari dokter kecantikan.
Hidung Arsa lumayan mancung, bentuk mata agak sipit menuruni gen mamanya yang masih keturunan Tionghoa, tinggi badannya setara dengan Iqbal dengan otot yang lebih besar. Kalau Iqbal setiap pagi membaca, Arsa setiap pagi berolahraga. Memang Iqbal bukan tipe suka olahraga.
Beneran gue ditaksir cewek? Ada kebanggaan dan ketidakpercayaan pada diri Arsa. Iyalah, gue kan ganteng. Pujinya dalam hati.
Arsa mengingat beberapa tahu silam, pernah seorang gadis menembaknya ketika ia duduk di bangku SMA. Kalau tidak salah kelas 10, masih masuk usia pubertas.
Terik sinar matahari membuat Arsa memakai kaca mata hitam, sambil menunggu bus, ia memainkan gagdet memainkan game ular makan titik hitam. Ya, saat itu ia hanya memakai ponsel berwarna buram. Hitam, putih, abu-abu saja. Mamanya tahu Arsa mudah terpengaruh, oleh karena itu ia dilarang memakai gawai modern yang mudah mengakses internet.
"Hai, boleh saya duduk di sebelahmu?" tanya seorang gadis. Wajahnya seputih porselen sepergi wanita Korea, bibirnya merah tipis, senyumnya pun manis.
"Silakan." Arsa memandang si gadis memakai rok baha tempurung serta kaus kuning. Rambutnya lurus sebahu dengan dijepit strowberry.
"Nama saya Hanin. Kamu?" Ia mengulurkan tangan.
"Arsa. Nunggu bus ya?"
"Enggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Hati [Sudah diSerieskan]
SpiritualKehidupan dokter muda Iqbal Danugraha awalnya lurus-lurus saja. Terlebih, dia menyukai seorang wanita muda yang juga berprofesi sebagai dokter spesialis anak, Alanza Quianne. Namun, sejak pertemuan secara tidak sengaja dengan Syanum Fazila, kehidupa...