Bab 18 - Perjodohan Iqbal

49.4K 5.2K 280
                                    

Selama bukan dalam kemaksiatan. Ridha Allah senantiasa bersama ridha orang tua.

~Pangeran Hati~

***

Prof Syarif
Iqbal kamu ajak Anza ke rumahmu saja. Saya ada perlu sama abimu, daripada kamu jauh jauh ke rumah mending saya ke sana.

Tangan kiri Iqbal mengetuk layar dua kali supaya layar terkunci, lalu kedua tangannya memegang kemudi. Sudah menjadi tanggung jawab seorang supir harus mengantarkan penumpang dengan selamat. Anza duduk di belakang, semua kaca dibuka supaya setan tidak mudah mempengaruhi. Sebenarnya Iqbal ingin mengajak Arsa, hanya saja ia khawatir tidak ada yang mengecek kondisi kesehatan Syanum.

"Iqbal sudah dapet pesan dari papa?" Setelah diam cukup lama, Anza buka suara karena setelah Iqbal melihat layar bukannya mengatakan sesuatu lelaki itu malah diam seolah mendapat pesan dari operator.

Iqbal tersenyum. Dapat ditangkap dari kalimat Anza kalau sebelum Syarif memghubungi Iqbal, ia sudah memberitahu anaknya terlebih dahulu. Tidak enak hati lebih kuat ketimbang menyampaikan pesan sang papa. Alhasil Anza meminta papanya bicara dengan Iqbal langsunh, dia tidak ingin menjadi perantara jika menimbulkan kecanggungan. Sejak masuk mobil saja hawa panas mengelilinginya, selalu berkeringat, dan jantungnya berdetak tidak karuhan seperti bedug takbiran keliling yang terus bertalu-talu.

"Udah. Kata papamu aku harus ngenalin ke orang tuaku."

Kalimat ambigu membuat Anza merona merah, ia memalingkan wajah supaya tidak terlihat. Untuk menghilangkan kecanggungan, segera Anza meraih earphone lantas ia sumpalkan di kedua telingan. Sambil mendengarkan lagu, Anza mengeluarkan tahu bakso yang sudah digoreng dari kardus kotak kemudian mencomotnya. Iqbal melirik dari spion, berpikir dalam hati 'bukannya tadi mau dibuat oleh-oleh? Kenapa malah dimakam sendiri?'

"Jangan dihabisin tahu baksonya, umi suka banget loh," kata Iqbal membuat Anza berhenti mengunyah seperti ingin memuntahkan lagi tetapi tidak mungkin. Matanya miris menyadari tahu bakso yang tinggal 2 potong.

Iqbal bisa memangkan bahasa tubuh Anza. "Maaf, Maaf, habisin aja gpp. Ini kan hari Kamis biasanya umi puasa. Tenang aja."

Mata Anza mamndang Iqbal sinis. Sengaja ya? Ngeselin sih tapi tetap saja ngangenin.

Sebelumnya Anza pernah dengar desas desus warga kampus kalau Iqbal anak kyai ternama. Dibayangan Anza pesantren milik orang tua Iqbal tidak sebesar ini, ternyata dugaannya salah. Dari gerbang sampai parkir mobil saja seperti jarak gerbang universitas sampai Fakultas Kedokteran. Alarm tanda bahaya dalam diri Anza berbunyi nyaring saat puluhan santri putra mendekati mobil Iqbal. Mereka berbaris rapi di depan pintu seraya menundukan kepala sebagai tanda tunduk.

"Bal, yakin?" maksud pertanyaan Anza adalah 'beneran aku turun? Anak kyai bawa cewek pulang, apa kata santri?'

"Udah gpp. Udah sering kok."

Wah, wah, diem-diem suka bawa pulang cewek. Perlu waspada juga, selama Anza kenal Iqbal dia tidak pernah melihat langsung Iqbal hanya berdua dengan perempuan di mobil. Paling-paling di kampus jalan berdua.

Iqbal berusaha memupus habis pikiram buruk Anza. "Perempuan tersebut saudaraku, biasanya seumuran sama Umi. Mungkin yang lihat mengira kamu budeku."

"Bude?" Anza tidak terima dikira bude. Bude merupakan sapaan kakak perempuan ibu atau ayah di Jawa.

"Ayo Bude. Mau dis situ terus? Mau dilihatin banyak orang?" Iqbal berjalan menuju kediaman orang tuanya setelah menyalami santri putra.

Beberapa santri putri mengintip dari jendela asrama. Ada yang memandang Anza dengan mata berbinar, mendukung dan merasa keduanya cocok menjadi partner hidup. Ada pula yang memandang tidak suka. Biasanya yang tidak suka adalah mereka para pemimpi mengharap bisa merasakan ada di posisi Aisya—menikah dengan anak pengasuh pesasntren.

Pangeran Hati [Sudah diSerieskan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang