Assalamualaikum...
Mau cuap cuap dulu. Buat kalian yang masih binggung sama penyakit DID, bayangin aja kalau pergantian kepribadian seperti kesurupan. Tapi ini beda ya. Ini penyakit. Dimana mereka gak tahu apa yang dilakukan kepribadian lain. Misal nih, Insyra ngebunuh orang, Syanum dan Feli gak akan tahu kecuali ada yang ngasih tahu.
Plisss paham hehe... Binggung kalau masih ada yang bilang gak paham. Bacanya hati-hati, gak usah cepet-cepet tapi endingnya gak ngerti.
***
Malam ini Anza masih praktikum di kampus. Sembari menunggu namanya dipanggil, ia duduk di depan laboratorium.
"Oy! Ngalamun mulu!" tegur sahabat Anza melihat ia bertopang dagu. Dari ilmu yang pernah ia pelajari, orang yang bertopang dagu biasanya ia sedang bosan.
Kehadiran sang sahabat membuat Anza sedikit tidak suka, membuat pikirannya buyar saja. Dia kan sedang memikirkan pembahasan agar bisa memulai chat Iqbal. Ah, kadang Anza sebel sama lelaki itu. Kenapa tidak mulai chat duluan?
"Eh Wan," begitulah Anza memanggil sahabatnya bernama Wanda. "Kamu punya kontak Iqbal yang sekarang intership di Desa Gua?"
"Iqbal... Iq.... Bal... " Wanda gitu, pintar tapi pelupa. Lupa wajah tapi hapal betul bagian dan fungsi anatomi manusia.
"Adik tingkat sebagai lulusan terbaik tahun ini," jujur gadis berjilbab pasmina toska.
"Eh?"
"Aku kan ngomong fakta."
"Terus yang pilot itu gimana dong? Gak enak loh kalau punya pasangan sama-sama dokter. Sibuk."
"Emang pilot gak sibuk? Terbang ke sana ke mari. Godaannya cewek cantik, seksi juga. Kalau punya suami dokter itu enak Wan, setidaknya kalau kita ngeluh sama dia atau mengeluarkan istilah kedokteran kita gak perlu tenaga tambahan untuk menjelaskan pembicaraan yang kita maksud karena udah satu pandangan."
Anza terjebak perangkap Wanda. Dari kalimatnya barusan, membuat Wanda tahu kalau Anza fine-fine aja nikah sama dokter, lebih spesifik lagi Iqbal. "Intinya kamu mau nikah sama Iqbal kan?"
Anza tidak menjawab, malah balik bertanya. "Jadi kamu tahu dia kan? Udah inget?"
"Udah. Dia pernah satu organisasi setahun sama aku. Sekarang aku lagi chating-an sama dia," Wanda yang tadi duduk mengambil posisi duduk di samping Anza. "Kamu sekarang suka brondong?"
"Dari dulu gue suka brondong kali," jawab Anza enteng.
Sontak Wanda membulatkan mata lebar-lebar. "Sejak kapan? Katanya bukan tipe?"
"Orang kalau di bioskop aja gue suka makan brondong."
Gadis di sisi kanan Anza menepuk jidat. "Bukan itu cantik. Maksud aku brondong i—"
"Iya, tahu. Terus dia kenapa chating-an sama kamu?" kepo Anza makin mencak-mencak.
"Cuma nanya tentang obat mengobati stress gitu. Apa dia stress ya? Perasaan intersip gak begitu berat dibanding koas," tanya Wanda pada dirisendiri mengingat berapa malang nasibnya dulu dimarahin residen. Sederhananya residen itu koasnya dokter yang sedang menempuh pendidikan spesialis.
Tangan Anza refleks memukul Wanda pelan. "Ya enggak lah. Dia jadi semacam asisten bokap. Menghadapi pasien pengidap DID?" khilaf! Kekhilafan yang sulit dimaafkan. Sebagai dokter dia harusnya bisa menjaga rahasia pasien. Pasien bokap tepatnya.
"Berkepribadian ganda?"
"Isshhh, aku keceplosan. Kamu jangan bilang siapa-siapa ya." Tangan gadis berhidung manjung sedikit mengembang itu menelungkup seperti pose poster ucapan selamat hari raya idul fitri.
"Kita bukan ajang ngebocorin, tapi diskusi," kata Wanda menekankan pada kata terakhir. "Serem. Sumpah itu horor."
"Kok bisa?" Mimik wajah anak prof Syarif itu mendadak berubah. Dahinya mengerut, matanya menyipit, serta mengingat pelajaran lalu. Belajar bedah membuat ia sedikit lupa pelajaran lama.
Wanda menyerongkan badan ke arah jam 8, menatap Anza intens. "Gini ya Za, antara satu kepribadian dengan kepribadian yang lain tidak saling tahu menahu. Bayangkan kalau pasiennya memiliki kepribadian bruntal, bisa saja berbuat kekerasan bahkan sampe membunuh."
"Iya sih, kadang walaupun yang mengidap DID perempuan dia bisa memiliki kepribadian laki-laki. Tentu saja nanti tenaganya laki-laki."
"Nah iya. Apalagi pengidap DID itu keinginan membunuh atau bunuh diri itu besar."
"Otakmu pandai juga. Gak sia-sia nyokap bokapmu nyekolahin di kedokteran," kekeh Anza kemudian.
"Ini hasil aku nonton film."
Anza meneol bahu Wanda. Lantas diam berpikir. Apa kabar Iqbal? Kekesalan kepada Iqbal yang justru menghubungi Wanda daripada dirinya sirna begitu saja. Rasa itu bermetamorfosa menjadi kekhawatiran. "Em... Tolong dong tanyain Iqbal gimana kabarnya."
"Ih masak iya tiba-tiba aku nanya gimana kabar. Nanti dia ngira aku naksir gimana?"
"Ah enggak. Ayo dong, Wan. Nanti gue traktir di kantin."
"Iya... Iya... Gimana kata-katanya?"
"Iqbal koma bagaimana kabarmu bertugas di Desa Gua tanda tanya," dikte Anza supaya ditulis sahabatnya.
"Udah kekirim."
"Lihat pesannya."
Wanda memberikan ponsel. Namun, ia langsung beranjak kabur ke kamar mandi. Dari gelagat Wanda, Anza mampu membau ketidakberesan sedang berlangsung.
Iqbal kata Anza, Iqbal koma bagaimana kabarmu bertugas di Desa Gua tanda tanya.
"WANDAAAA!!! Gak gini juga kali." Gadis tersebut menyusul ke arah perginya si Wanda, menyiapkan buku yang memiliki ketebalan 700 halaman sebagai persembahan ucapan terima kasih Anza kepada Wanda. "Kalau dikasih 'kata Anza' dia tahu dong kalau dari aku. WANN!!!"
Sadar diperhatikan banyak orang, Anza pun menutup mulutnya dengan masker yang tadi ia turunkan.
***
Dibagi dua bab ya ☺
Mel~
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Hati [Sudah diSerieskan]
SpiritualKehidupan dokter muda Iqbal Danugraha awalnya lurus-lurus saja. Terlebih, dia menyukai seorang wanita muda yang juga berprofesi sebagai dokter spesialis anak, Alanza Quianne. Namun, sejak pertemuan secara tidak sengaja dengan Syanum Fazila, kehidupa...